Skip to main content

Nulis itu? Yang Ada Baik-Baiknya



Matahari sudah beranjak dari tempat peraduan. Sinar mentari yang hangat menyapa dengan lembut lewat kisi jendela kamar. Tak urung suara ayam dan alarm pun saling beradu membangunkan Sarah dari tidur panjang.
"Jam berapa ini?" Sarah melirik jam yang tergantung rapi di dinding kamarnya.
"Ya Allah jam tujuh. Belum salat subuh," lirih Sarah, lalu perempuan itu langsung bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.
Dialah Sarah. Perempuan yang tidak pernah bisa tidur sebelum jam menunjukkan pukul tiga pagi. Alhasil dia selalu kesiangan melaksanakan salat subuh. Jangan tanya, seberapa sering jeweran melayang di kupingnya. Hampir setiap hari Anah, ibunya Sarah selalu memarahi dan menjewer anak bungsunya itu.
"Salat subuh atau salat dhuha? Anak gadis masa bangunnya siang terus, sih. Nggak takut jodohnya dipatok orang?" Sergah Anah ketika melihat Sarah baru selesai berwudhu.
"Nggak sekalian dipatok ayam aja, Bu? Yang penting, kan aku langsung salat. Allah juga pasti mafhum kok. Hehe." jawab Sarah dengan menunjukkan sederet giginya yang putih. Sarah memang tipe anak yang nakal. Dari ke lima saudaranya, hanya Sarahlah yang selalu menjawab asal ketika ditanya oleh ibunya. Itulah mengapa kupingnya selalu menjadi sasaran empuk untuk dijewer.
"Udah ah, Bu. Debat sama Ibu mah nggak ada ujungnya. Yang ada aku makin kesiangan salatnya." jawab sarah lalu meninggalkan ibunya yang sedang masak di dapur.
Setelah selesai salat, seperti biasa hari Minggu adalah harinya Sarah merapikan rumah. Sarah mengawali Minggu paginya dengan menyapu, mengepel, menyuci, dan diakhiri dengan membantu ibunya membuat kue.
"Bu, hari ini Sarah nggak bantuin Ibu bikin kue dulu ya. Udah jam 9, Sarah ada pertemuan pertama kelas nulis di FLP (Forum Lingkar Pena) Jakarta. Takut telat." kata Sarah sembari menyesap susunya yang sudah dingin.
"Hari ini Ibu lagi banyak pesanan kue, Nak. Bantuin Ibu dulu ya, sampai jam 10 juga tidak apa-apa." jawab Anah singkat lalu ia meneruskan membuat adonan kue.
Ibunya Sarah memang jago membuat kue. Apapun jenis kue yang dibuat oleh Anah rasanya pasti enak. Tak heran jika tetangga Sarah selalu memesan kue kepada ibunya jika ada acara tertentu seperti nikahan. Kebetulan Minggu ini memasuki panen nikahan, jadi banyak tetangga Sarah yang memesan kue.
"Hmm... yasudah Bu." Sarah mengembuskan napas panjang. Meskipun Sarah suka melawan, ia tak pernah tega membiarkan ibunya bekerja sendirian. Berhubung saudara Sarah semuanya laki-laki dan hanya Sarah anak perempuan satu-satunya, jadi hanya ia yang bisa dimintai tolong oleh ibunya.
Kesibukan di hari Minggu semakin terasa. Ada yang memilih menghabiskan waktu bersama orang tarkasih, ada yang menghabiskan waktu untuk sekadar membaca buku, dan ada pula yang menghabiskan weekend -nya dengan berleha-leha di rumah. Tapi berbeda dengan Sarah, ia menghabiskan akhir pekannya dengan menuntut ilmu di FLP Jakarta. Cita-citanya menjadi seorang penulis menghantarkan kakinya di komunitas kepenulisan FLP Jakarta. Ia berharap langkah kakinya itu bisa menuntun dirinya menemukan passion yang benar-benar ia cintai.
"Waduh... udah jam 10 lewat 15 menit. Telat parah ini mah." Sarah segera memasukan bukunya ke dalam tas. Sebelum pergi, ia tidak lupa untuk mencium tangan ibunya terlebih dahulu.
"Bu, Sarah berangkat dulu ya. Assalamualaikum." Perempuan pemilik nama Sarah Amalia itu bergegas menuju Stasiun. Jarak tempuh dari rumah ke Stasiun hanya memakan waktu sekitar 15 menit saja. Dan itulah yang membuat Sarah lebih suka berjalan kaki daripada naik metro mini. Menurut Sarah, jalan kaki jauh lebih menyehatkan, dan selama diperjalanan bisa ia gunakan untuk berpikir. Entah memikirkan tugas kuliah, cita-citanya menjadi penulis, atau memikirkan masalah perasaannya yang tak kunjung menemukan tempat singgah terbaik.
Sarah itu perempuan yang lumayan cantik. Lesung pipit di pipi kirinya menambah kadar kecantikan yang ia miliki. Apalagi ketika senyuman merekah di wajahnya, seperkian detik jagat raya akan berhenti beredar hanya untuk menikmati senyumnya yang manis.
***


Pukul 10.30 Sarah tiba di Stasiun. Ia langsung memesan tiket tujuan akhir stasiun Palmerah. Pertemuan pertama kelas menulis berlokasi di Masjid Baitul Hasib, Jakarta.  Lima menit Sarah menunggu, kereta tak kunjung datang, padahal hari sudah semakin menyingsing. Karena jenuh, Sarah memutuskan membaca buku disela-sela menunggu.
Buku Tuhan, Maaf, Kami Sedang Sibuk  menjadi teman terbaik yang selalu Sarah bawa ke mana pun ia pergi. Sarah merasa buku tersebut menjadi reminder untuk dirinya sendiri. Apalagi di dalam buku itu banyak menyinggung soal tabiat manusia yang lebih mencintai dunia ketimbang akhirat. Sarah tertohok ketika sampai di halaman 33, di sana menceritakan tentang Syahadatnya Orang Kantoran. Sudah menjadi hal lumrah bahwa orang-orang yang bekerja di kantoran kebanyakan lebih patuh kepada atasannya daripada atasan atasannya (Allah). Satu kata yang terlontar dari mulut Sarah mengenai buku tersebut “keren!” Penulisnya mampu  menggambarkan situasi masyarakat dewasa ini. Siapapun yang membacanya pasti akan dibuat manggut-manggut mengamini.
Lima belas menit berlalu, kereta yang ditunggu-tunggu Sarah akhirnya tiba.
Sarah langsung mencari tempat duduk di gerbong khusus wanita. Tak butuh waktu lama, kereta yang Sarah naiki melaju dengan cepat. “Jam berapa ini?” pikirnya. Kemudian Sarah melirik jam digital yang melingkar di tangan kanannya. “Sial! Telat banget. Ah Ibu, sih.” gerutu Sarah memaki dirinya sendiri.
Pukul sebelas, Sarah tiba di Masjid Baitul Hasib. Terlihat di sana, teman-teman Sarah sedang khusyuk memperhatikan materi yang disampaikan oleh Ahmad Lamuna selaku mentor sekaligus mantan ketua divisi kerohisan FLP Jakarta. Tidak mau semakin tertinggal materi, Sarah pun langsung menceburkan dirinya menyimak pembahasan mengenai wawasan keislaman dan motivasi menulis.
Berbicara soal keislaman, FLP Jakarta merupakan suatu komunitas menulis yang amat memperhatikan masalah keagamaan. Ini yang membuat FLP Jakarta terlihat unik di mata Sarah, ketika moral dan etika pemuda islam semakin tergerus oleh kemajuan jaman, FLP mampu melahirkan penulis muda yang selalu menomor satukan akhlak. Tak tanggung-tanggung FLP Jakarta pun menjadikan menulis sebagai sarana jalan berdakwah.
“Jalan kepenulisan FLP ya jalan dakwah. Jalan yang diniati untuk beribadah. Dan di FLP, menulis bukan hanya sekadar menulis, tapi juga mampu menghasilkan tulisan yang bermanfaat bagi orang lain.” tutur Ahmad Lamuna dengan bersemangat.
Sarah mengamini setiap kata yang diucapkan oleh Ahmad Lamuna. Pemikirannya sedikit terbuka perihal menulis yang harus mengutamakan unsur kebaikan. Selama ini, Sarah hanya sekadar menulis saja tanpa memikirkan manfaat apa yang bisa orang lain ambil dari tulisan yang ia buat. 
“Nulis itu dari hati. Bukan dari otak.” Ahmad Lamuna menambahkan dengan nada semakin meninggi agar teman-teman yang sedang mendengarkan bisa termotivasi.  Seketika Sarah tercenung. Ia lumat baik-baik perkataan Ahmad Lamuna barusan. Selama ini bomerang yang selalu memerangi Sarah saat menulis adalah terlalu keras berpikir. Sarah terlalu menguras otaknya untuk berpikir, sehingga tulisan yang ia buat tidak pernah tuntas sampai akhir. Kerena apa? Karena Sarah selalu menemukan jalan buntu di tengah ia menulis.
“Coba, deh tuliskan apa yang sedang kita rasa. Biar tulisannya makin hidup dan terasa,” tambahnya. Sarah tidak lagi mendengarkan materi yang sedang dibahas. Pikirannya sedang meratapi nasib hobi menulisnya yang selalu tersendat. “Intinya aku harus nulis. Nulis, nulis dan nulis!” makinya dalam hati.
Tanpa terasa pertemuan pertama kelas menulis itu berakhir seiring suara adzan dzuhur  dikumandangkan.
***
Menilik kembali tentang jalan kepenulisan FLP yang berorientasi kepada jalan dakwah, membuat sebagian orang beranggapan bahwa berdakwah itu merupakan tugas yang berat, dan hanya bisa dilakukan oleh para ahli agama saja. Orang biasa seperi Sarah? Mana bisa. Sarah bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah ia bisa berdakwah? Apakah ia bisa menulis dan menyeru pada kebaikan tanpa terkesan menggurui?
Berdasarkan pengamatan Sarah, tulisan dakwah yang biasa ia temui lebih banyak menyuruh-nyuruh dan terkesan menggurui. Sarah tidak mau seperti itu. Sarah takut apa yang akan ia tulis justru kontradiktif dengan perilakunya sehari-hari. Sarah tidak mau dicap sebagai ‘pencitraan’ belaka.
Sesampainya di rumah, Sarah merebahkan  tubuhnya ke atas ranjang kesayangannya. Tidak terlalu besar memang, tapi cukup nyaman untuk melepaskan rasa lelah seharian mengikuti kelas menulis. Sarah menatap langit-langit kamarnya. Kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan, “tulisan apa yang harus aku buat tapi sarat akan manfaat? Apa aku tulis tentang agama saja? Ah tidak! Agamaku masih dangkal, yang ada orang-orang akan mencibirku sinis. Bagaiamana kalau aku menulis bahayanya pacaran? Ah… tidak, tidak. Aku adalah perempuan yang pernah berpacaran. Meskipun 3 tahun ini aku telah berkomitmen untuk tidak menjalin hubungan dengan lawan jenis, tapi itu tidak cukup untuk mengajak teman-temanku agar berhenti berpacaran. Lantas aku harus nulis apa?
Sarah  frustasi dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah menari-nari di pikirannya sejak tadi. Ia mengacak-ngacak kerudung yang masih dikenakannya. Selama Sarah terjun ke dunia menulis, Sarah memang terbilang belum pernah menulis sesuatu yang berbau agama. Bukan karna dia jauh dengan Tuhan, tapi dia merasa jika dia mengangkat sebuah masalah terkait agama, hidupnya masih jauh dikatakan baik. Jadi, sarah takut orang-orang menilainya hanya bentuk pencitraan saja. Tidak ikhlas menyiarkan suatu kebaikan.
“Lah, kamu udah pulang, Nak? Ibu ko nggak dengar kamu ucap salam? Anah, ibunya Sarah menghampiri Sarah yang tengah berbaring, lalu ia duduk di tepi ranjang dekat Sarah membaringkan tubuhnya.
Sarah membetulkan posisinya yang semula tiduran, “Eh Ibu. Sarah baru aja pulang. Tadi udah ngucapin salam tapi nggak ada yang jawab. Sarah pikir Ibu lagi nggak di rumah.” Jawab Sarah, lalu ia langsung meraih tangan ibunya untuk bersalaman.

“Oh, Ibu lagi di kamar mandi. Jadi nggak dengar suara kamu. Tadi gimana acaranya? Seru?” tanya ibu antusias, “Tapi kenapa muka kamu kayak benang kusut gitu?” lanjutnya, lalu ibu memajukan wajahnya, memperhatikan detail setiap jengkal tubuh putri bungsunya itu.
“Biasa aja Bu lihatnya. Sarah tahu sarah cantik, tapi nggak segitunya juga.” Sarah terkekeh. Anah hanya tertawa kecil melihat putri bungsunya salah tingkah, “Ya terus kenapa? Telinga Ibu masih berfungsi dengan baik ko. Jadi Ibu masih bisa mendengarkan jeritan hati kamu.” goda Anah dengan senyuman menyeringai.
Sarah dan ibunya memang memiliki hubungan yang cukup dekat. Walaupun Sarah terbilang nakal, tapi putri bungsu dari pasangan Anah Karlina dan Udin Kusuma bisa dikatakan yang paling dekat dengan ibunya dibangdingkan dengan ke-5 saudara laki-lakinya itu. Bahkan setiap kali Sarah memiliki masalah, ibunya lah yang selalu dijadikan tempat sandaran terbaik bagi Sarah untuk berbagi lukanya yang sudah menganga. Sekalipun itu masalah hati, Sarah tidak pernah merasa malu menceritakan kesedihannya kepada sang ibu.
“Ih Ibu, belajar lebay dari mana, sih?”
“iya, iya, ini Sarah ceritain. Acaranya seru, ko. Sarah dapat ilmu banyak tentang motivasi menulis. Hari ini, materi yang diajarkan tentang keislmanan dan jalan dakwah menulis. Tapi Sarah masih bingung soal berdakwah lewat tulisan. Dakwah, kan identik dengan agama ya, Bu? Sedangkan pemahaman aku tentang agama Islam masih dangkal banget. Apa Sarah bisa istiqomah menggoreskan pena kebaikan?” jawab Sarah sembari membetulkan anak rambut yang mencoba mengintip di balik kerudung berwarna hitamnya.
Ibu mengembuskan napas panjang, “Begini ya, Sayang. Ibu memang tidak mengerti soal tulis-menulis. Dengan pengetahuan Ibu yang juga terbatas, setahu Ibu berdakwah itu bukan hanya perkara aktivitas menyiarkan agama Islam lewat mimbar masjid saja. Berdakwah itu banyak caranya, Nak. Tugas menyerukan dakwah juga bukan cuma untuk para ulama semata. Tapi kita semua juga berkewajiban untuk menyampaikan dakwah.
بَÙ„ِّغُوا عَÙ†ِّÙ‰ ÙˆَÙ„َÙˆْ آيَØ©ً “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.” Kamu dan Ibu pun memiliki tugas yang sama. Yaitu berkewajiban untuk menyerukan suatu kebaikan. Entah dengan berceramah di tempat majlis ta’lim, khutbah jumat, menulis artikel tentang hukum berpuasa ataupun yang lainnya.” kata Anah sambil terus merapikan baju Sarah yang sudah menumpuk di atas kasur.
“Tumben Ibu ngomongnya bener. Biasanya, kan ngelantur. Hehe.” Bukannya didengarkan baik-baik Sarah justru cengengesan.
Ibu melemparkan baju ke arah Sarah, tapi Sarah tangkis menangkapnya, ”kamu mah bukannya didengerin baik-baik malah bercandain Ibu. Mau diteruskan nggak?”  
“Soalnya wajah Ibu makin cantik kalau lagi ngambek. Sarah jadi senang bercandain Ibu.” goda Sarah lagi, lalu ia melihat mata Anah yang sudah melotot, Sarah menghentikan aksinya untuk terus menggodai ibunya dan meminta Anah untuk meneruskan  bercerita.
“Ibu, kan tahu kamu senang menulis. Kenapa nggak kamu coba berdakwah lewat tulisan-tulisan kamu aja, Nak? Ibu juga tahu, sih tantangannya berat. Pasti selalu ada orang-orang yang tidak menyukai karya kamu. Gak apa-apa, kamu niatkan aja untuk beribadah, itung-itung ladang pahala buat kamu. Sekalipun nanti ada yang menilai buruk karya-karyamu, selama kamu masih menorehkan pena kebaikan di setiap tulisan yang kamu buat, Allah akan selalu menilaimu baik, Nak. Jangan takut. Justru seharusnya kamu takut ketika kemajuan teknologi semakin canggih, dan orang-orang terlalu sibuk menggunjing sana-sini di media sosial, kamu malah ikut-ikutan tenggelam di dalamnya. Ibu nggak mau kamu terlalu mencintai dunia, Nak. Peran kita di dunia ini cuma sebatas mampir aja, Sayang. Nggak beda jauh sama musafir. ”
Sarah menelan baik-baik ucapan yang dilontarkan oleh ibunya itu. Sesekali Sarah mengangguk-angguk kecil mengamini kata demi kata yang keluar dari mulut ibunya. Ada benarnya juga, pikir Sarah.
“Lagi pula, setiap tulisan yang kamu buat akan ada pertanggungjawabannya. Apakah tulisan kamu mengandung kebermanfaatan atau malah sebaliknya, mengundang kemungkaran. Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain. Begitu pun dengan tulisan, sebaik-baiknya tulisan adalah yang bermanfaat bagi pembacanya. Kamu coba dulu nulis yang masih ringan. Sekarang, kan banyak tuh perempuan muslim yang sudah baligh kadang berhijab kadang nggak. Pagi hari di sekolah ditutup, siangnya upload foto di media sosial hijabnya dibuka. Saban hari tutup buka.”
Ibu membetulkan posisi duduknya. Sekarang ia persis sedang memegangi bahu Sarah, ”nah, dari masalah kecil seperti itu kamu bisa ambil kesempatan untuk berdakwah lewat tulisan. Kamu buatlah semacam artikel tentang perintah menutup aurat. Tapi ingat ya, Nak, kamu menulisnya harus dengan kata-kata yang sopan, anggun, dan tidak menggurui calon pembacamu. Supaya mereka suka dan tidak merasa sedang dinasehati.” ujar Anah dengan menyimpulkan senyuman.
“Nggak heran kenapa Ayah bisa jatuh cinta sama Ibu. Ternyata Ibu aku yang suka marah-marah nggak jelas ini punya kadar kecerdasan yang tinggi juga lho. Sarah jadi makin sayang. Sini, sini peluk,” Sarah tertawa geli, kemudian ia langsung memeluk ibunya dengan penuh kehangatan.
“Makanya buru-buru cari suami. Supaya ada yang bimbing kamu jadi perempuan yang jauh lebih baik lagi.” Anah bangkit dari tempat tidur Sarah, lalu beranjak meninggalkan Sarah. Tawanya pun meledak ketika berhasil menemukan ekpresi Sarah yang berubah menjadi merah padam.
“Ih! Ibu ko nggak nyambung, sih. Nyesel sarah bilang Ibu pinter.” Sarah mengkerucutkan bibirnya. Karena lelah, Sarah memutuskan tidur sejenak untuk menyegarkan kembali pikirannya.

Comments

Popular posts from this blog

Sehari Seribu Sholawat

Sehari Seribu Sholawat Bismillaahir Rahmaanir Rahiim... Kamu tahu apa manfaat dari mengamalkan sholawat setiap hari? Jawabannya, manfaat sholawat banyak banget. Banget! Nggak kehitung, deh, seberapa banyak kemudahan yang bakalan kita dapat setelah mengamalkan sholawat. Cuma dengan sholawat, Insyaa Allah, kita bisa mendapatkan apa aja yang kita butuh. Percaya? Oke, nggak apa-apa kalau kamu nggak percaya. Tapi ini beneran! Aku nggak ngibul. Sumpah. Aku akan tulis tentang pengalamanku setelah mengamalkan seribu sholawat setiap hari sesuai dengan apa yang terjadi waktu itu, meskipun tidak terlalu detail, tapi itulah intinya. Aku tulis cerita ini, bukan maksud aku ingin dianggap sok suci, sok alim, atau pun riya karena ingin dipuji. Bukan, sama sekali bukan. Demi Allah, aku hanya ingin berbagi pengalaman yang sudah aku dan teman-temanku rasain selama di Lampung berkat ngamalin sehari seribu sholawat. Aku hanya ingin kamu yang membaca tul

Tak Semanis Nasib Anak Tetangga

Tak Semanis Nasib Anak Tetangga Source: Pinterest AKULAH Anindya, terlahir untuk diremeh-temehkan. Mungkin kau tak percaya atau bahkan tertawa kecil sambil berujar mana mungkin ada orang yang bernasib sedemikian buruk. Barangkali kau sudah mendengar cerita tentang diriku dari para petualang di penjuru negeri sehingga mendapat gambaran yang amat keliru tentangku. Aku lahir dengan nama kecil Anin. Bapak ku hanya seorang buruh pabrik biasa. Tak berdasi, apalagi punya banyak materi di sana-sini. Ibuku, Nunik, pun sama, sehari-hari kesibukannya hanya mengurusi dapur dan sumur. Namun, setelah menjelang Ma gh rib pekerjaannya bertambah satu:  mengajar anak-anak mengaji di surau dekat rumahku tinggal. Begitulah kiranya keadaanku. Aku bukan anak perempuan yang terlahir dari keluarga berada. Aku lahir di Magelang , tapi besar di Tangerang. Ibuku kelahiran Jawa, setelah ia memutuskan menikah dengan Bapak. Ibu langsung diboyong ke Tangerang untuk menetap di sana. Namun, sebulan

Nikmat Sholawat: Diutamakan Saat Kiamat

Tahun 2017 lalu, aku pernah mengulas sedikit pengalaman tentang mengamalkan shalawat bersama teman-temanku. Niat awal hanya ingin mengabadikan perjalanan yang sederhana dan penuh makna. Tetapi di luar dugaan alhamdulillah tulisanku diterima banyak orang, bahkan ada yang termotivasi   untuk ikut mengamalkan sehari seribu shalawat. Selain yang pernah kutuliskan sebelumnya, sebetulnya sampai sekarang pun banyak keajaiban-keajaiban kecil yang aku dapat berkat fadhilah mengamalkan shalawat. Misalnya sebulan yang lalu aku sempat mengalami kesulitan perekonomian. Uang tabungan sudah defisit untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran yang tak terduga. Apalagi ketika musim nikahan di sana-sini, bayar arisan yang selalu nombokin, ongkos magang yang over budgeting , itu cukup membikin kepalaku mumet tak keruan. Ditambah uang saku yang diberikan ibu tidak seberapa dan kadang masing kurang. Sedihnya aku sampai harus jual kedua cincinku supaya bisa bayar arisan setiap minggunya. Samp