Skip to main content

Kamu Adalah Perbuatan Baikmu

SATU hal baik yang muncul dari malam itu adalah Renata bersenandung kegirangan setelah bercerita panjang. Ia menyeringai senang karena sudah membuka banyak sisi lain dirinya kepada Betty. Ya, dalam urusan itu, Renata memang senang bercerita, terlalu sering malah, maka ketika pikirannya sedang mabuk tertindas berbagai tekanan, kepada Betty lah ia menumpahkan  air matanya.  Berbeda dengan Betty, ia justru cenderung tak pernah bercerita mengenai dirinya. Mungkin ia ingin, tapi tak sempat karena pada saat itu Renata lebih sibuk menceritakan masalahnya. Biarpun begitu, minatnya tak surut mendengar cerita lanjutan dari Renata.

Betty dan Renata sudah turun dari rooftop. Mereka berjalan menuju kamar mandi, mengambil wudu. Salat selama kurang dari satu menit itu sudah cukup untuk membebaskan Renata dari ocehan temannya. Jika Renata kekeh ingin berlama-lama di atas, Betty bakal mengolok-ngoloknya kafir sebab tak mau salat. 

“Mukamu tidak terlihat kusut lagi.” sahut Betty setelah usai mendirikan Magrib. 

“Sudah agak waras sekarang.” kata Renata asal-asalan.

“Segala wujud kegelisahan yang mengganggu pikiranmu itu harus dipenggal habis-habisan. Jangan biarkan ia tumbuh subur di kepalamu. Waktumu akan direnggut sia-sia jika terlalu memusingkan diri.”

“Pada akhirnya aku hanya bisa terkapar di kamar, lantas merasa buruk karena pernah mengambil berjenis-jenis kesalahan yang tolol itu.”

“Kita pasti akan terus melakukan kesalahan.”

“Aku senang begituan. Dan itu mendatangkan siksa ketika aku berada dalam kesunyian. Di tempat tidur ini misalnya, aku sering bergelut dengan sepasukan hantu-hantu dari dosa masa laluku sendiri.” Renata menghela napas panjang, lalu kambali berkata, “berkarung-karung dosa telah siap aku panen.”  

Renata membaringkan tubuhnya ke kasur. Saat itu mereka sedang ada di dalam sebuah kamar paling berantakan. Kamar Renata cukuplah layak disebut kamar paling berantakan di dunia sebab seprainya terlepas, bedak tumpah di meja belajar, kertas dan buku dan baju kotor berserakan di lantai, belum lagi semut-semut yang mengerumuni bekas permen. Jangan lupakan debu-debu yang menempel di rak buku, dilihat dari ketebalan debunya kemungkinan sudah dua bulan kamar itu tak pernah dirapikan. 

        Hujan mengurung Betty di rumah Renata, maka ketika malam menyambut dengan sepinya, mereka melanjutkan obrolan.

“Kamu yakin tak ada ampunan dari Pemilik Kehidupan?”

Renata menggelang, “Nggak tahu, deh. Menurutku begitu.”

“Kenapa?”

“Aku berengsek.”

“Tuhan tak serupa dengan manusia.”

“Tapi aku memang tolol. Berengsek pula.” kata Renata.

Betty dengan cepat mengerti apa yang dimaksudkan ucapan temannya itu. Apalagi ketika Renata sedang kehilangan diri, ia sering menyebut dirinya dengan nama yang menyakitkan.

Baca Juga: Menawar Nasib Kehidupan 

Betty menatap penuh kelembutan dan berkata, “Kehidupan akan tersenyum sepanjang hari, walau kita bersedu-sedan semalam suntuk. Bagaimanapun, tak ada yang menyenangkan dari hidup yang terus meratapi masa lalu. Jadi, kamu tidak usah perhatian sama dirimu. Kamu itu tidak penting.” 

“Kata-katamu terlalu keras dan berbelit.”

“Sederhananya begini, kita itu tidak penting sebab di dalam diri kita tidak ada kita. Kamu bisa memahaminya nanti-nanti. Dan, aku bilang, dengan kamu menyebut dirimu berbagai nama yang menyakitkan itu, justru kamu menyinggung dan merendahkan Tuhan. Ya meskipun Tuhan tak punya perasaan, tapi berhentilah rewel mendefinisikan kamu itu apa.” kata Betty menyambung.

“Itu lebih berbelit.” sahut Renata. “Kamu mau bikin aku tambah pusing, hah?” kata Renata lagi sambil melemparkan bantal ke arah muka Betty.

“Jangan main kekerasan dong!” Betty meringis. Matanya sibuk mengawasi Renata. 

Renata tertawa melihat raut Betty yang kesal, kemudian buru-buru ia menutup mulutnya, menahan tawa. “Jadi, intinya apa?” tanya Betty sekenanya.

“Intinya kamu adalah perbuatan baikmu. Bukan Renatanya. Bukan orang yang kamu sangka kamu itu apa – berengsek, bajingan, atau apalah yang kamu namai itu. Makanya, jangan menuntut kamu jadi seperti apa pun. Cukup penuhi dirimu dengan pekerjaan-pekerjaan dan perbuatan baik yang bisa bikin Tuhan bergembira sama kamu. Makanya lagi, bahan untuk bahagia itu berlimpah ruah di sekeliling kita. Masih bisa kentut dan berak setiap hari misalnya, jadi salah satu alasan kenapa kita harus berbahagia walaupun keadaan sedang menindas diri kita. ” kata Renata bersemangat.

“Buku apa yang kamu baca sampai punya pemikiran aneh seperti itu?”

Betty hanya tertawa kecil, ia kelihatan malas menanggapi, tapi kemudian perempuan itu bersuara lagi. 

“Kadang hidup susah itu karena pandangan kita sendiri, sih. Kita sering merasa dikecewakan berkali-kali, merasa ditipu orang lain, merasa dicurangi kehidupan, merasa kita paling juara soal penderitaan. Padahal sebetulnya kita hanya ditipu oleh pandangan kita sendiri.” 

Sejenak lengang. Renata diam memperhatikan.

Saat itu Betty sedang berbaring, sambil menatap langit-langit kamar ia kembali berkata, “Kamu tahu Ren, orang yang masih sedih, orang yang masih pesimis, orang yang masih tidak punya semangat melanjutkan hidup adalah orang-orang yang sudah salah sangka terhadap dirinya sendiri. Karena dia sudah salah sangka terhadap dirinya, bisa dipastikan dia juga salah sangka kepada dunia. Celakanya lagi orang-orang seperti itu pasti salah sangka terhadap apa saja, termasuk salah sangka kepada Tuhan.”

Renata masih mendengarkan, ia menunggu dengan sabar kalimat berikutnya. 

“Itulah kenapa aku jarang menceritakan hal-hal sedih ke kamu. Aku berkeyakinan aku ini tidak penting. Sedih itu manusiawi. Ada kalanya aku juga sedih saat tak ada uang untuk membeli buku.” jawab Betty kemudian melanjutkan, “Karena kita tenggelam dalam kekerdilan diri, kita sering membuat rumit anugerah Tuhan dalam hidup kita yang sebenarnya simpel. Kentut dan berak tadi contoh sederhana yang harus disyukuri. Sedikitpun tidak ada celah untuk tidak bahagia.’

“Tapi, level sedihmu masih biasa-biasa saja.” kata Renata menyambar.

“Astaga! Sedih yang luar biasa itu yang seperti apa, sih?” sahut Betty dengan nada yang sedikit meninggi. 

Di luar hujan telah usai. Namun belum ada tanda-tanda kapan perdebatan mereka berakhir. Demikianlah malam itu menjadi malam yang panjang mereka bercerita. 

“Aku tak pernah yakin apakah ada birahi dalam dirimu. Maksudku kamu saja tak pernah menjalin hubungan dengan laki-laki. Kamu tidak menyukai laki-laki, itu yang kutahu. Maksudku lagi, mana mungkin kamu paham bagaimana rasanya tersiksa saat sepasukan hantu-hantu dari dosa masa lalu itu mengganggu pikiranmu.” 

Betty menghela napas, ia beranjak dari posisi berbaring. Sekarang ia sedang duduk menghadap Renata. 

“Setidaknya ada dua kesalahanmu malam ini. Pertama, kamu sudah salah sangka terhadap dirimu sendiri. Kamu mengira bahwa dirimu paling buruk dari perempuan-perempuan yang lain sebab kamu tidak bisa mengontrol birahimu dan membuatmu berakhir menyedihkan seperti sekarang ini. Sawang sinawang saja, sih. Tidak selalu yang kamu lihat dari orang lain itu lebih baik. Kedua, kamu sudah salah sangka kepada diriku. Betul aku tak pernah menjalin hubungan dengan laki-laki, tapi bukan berarti aku tak menyukai mereka. Tentu saja ada laki-laki yang menarik minatku.”

“Siapa? tanya Betty mengejar.

“Rahasia.”

“Teman menceritakan semuanya.”

“Mm, nanti-nanti saja kalau aku berselera. Sekarang selesaikan dulu masalahmu.”

Renata termanyun, awalnya ia protes karena Betty tak terlalu terbuka kepada dirinya, tapi ia mengalah juga. 

Betty memandangi Renata. Temannya itu seperti bayi yang cengeng, hatinya mudah pecah layaknya kaca. Renata memang tidak menangis saat itu, suasana hatinya sudah lebih baik. Tapi, Betty sangat paham, jauh di lubuk hati Renata, biarpun sedikit pastilah kesedihan dan kekhawatiranya masih mengguruh di sana. 

Suasana kembali lengang.

“Bagaimanapun punyamu masih belum ditembus. Jadi, nggak ada yang harus dikhawatirkan berlebihan.” kata Betty.  

Renata hanya mengangguk cepat tanpa dosa, lalu ia kembali bersuara, “Kamu selalu tenang dalam menyikapi masalah apa pun. Aku cemburu.”

“Bukan begitu, sungai kehidupan tidak selalu jernih. Kita memang harus pintar mengurai buih supaya tetap bisa berenang walau sungai sedang keruh. Lagi pula, aku cuma belajar lebih menerima hidup ini apa adanya, bukan memaksakan hidup persis seperti yang aku kehendaki. Belajar melihat apa yang tersembunyi di balik setiap masalah.” 

Renata menaikkan alis sebelah kanannya, “Betty, aku tidak paham dan aku ingin kamu pakai kata-kata yang sederhana saja.” kata Renata, bingung.

“Melihat mimik wajahmu yang kebingungan itu salah satu hiburan buatku.”

“Barangkali aku memang harus menghajarmu.” 

Mereka saling berpandangan. Betty tak bisa menahan tawa lagi. Ia tertawa lebih keras, Renata juga. Kemudian mereka menghabiskan sisa malam yang menyebalkan itu dengan bergembira dan merdeka.

 

Comments

Popular posts from this blog

Sehari Seribu Sholawat

Sehari Seribu Sholawat Bismillaahir Rahmaanir Rahiim... Kamu tahu apa manfaat dari mengamalkan sholawat setiap hari? Jawabannya, manfaat sholawat banyak banget. Banget! Nggak kehitung, deh, seberapa banyak kemudahan yang bakalan kita dapat setelah mengamalkan sholawat. Cuma dengan sholawat, Insyaa Allah, kita bisa mendapatkan apa aja yang kita butuh. Percaya? Oke, nggak apa-apa kalau kamu nggak percaya. Tapi ini beneran! Aku nggak ngibul. Sumpah. Aku akan tulis tentang pengalamanku setelah mengamalkan seribu sholawat setiap hari sesuai dengan apa yang terjadi waktu itu, meskipun tidak terlalu detail, tapi itulah intinya. Aku tulis cerita ini, bukan maksud aku ingin dianggap sok suci, sok alim, atau pun riya karena ingin dipuji. Bukan, sama sekali bukan. Demi Allah, aku hanya ingin berbagi pengalaman yang sudah aku dan teman-temanku rasain selama di Lampung berkat ngamalin sehari seribu sholawat. Aku hanya ingin kamu yang membaca tul

Tak Semanis Nasib Anak Tetangga

Tak Semanis Nasib Anak Tetangga Source: Pinterest AKULAH Anindya, terlahir untuk diremeh-temehkan. Mungkin kau tak percaya atau bahkan tertawa kecil sambil berujar mana mungkin ada orang yang bernasib sedemikian buruk. Barangkali kau sudah mendengar cerita tentang diriku dari para petualang di penjuru negeri sehingga mendapat gambaran yang amat keliru tentangku. Aku lahir dengan nama kecil Anin. Bapak ku hanya seorang buruh pabrik biasa. Tak berdasi, apalagi punya banyak materi di sana-sini. Ibuku, Nunik, pun sama, sehari-hari kesibukannya hanya mengurusi dapur dan sumur. Namun, setelah menjelang Ma gh rib pekerjaannya bertambah satu:  mengajar anak-anak mengaji di surau dekat rumahku tinggal. Begitulah kiranya keadaanku. Aku bukan anak perempuan yang terlahir dari keluarga berada. Aku lahir di Magelang , tapi besar di Tangerang. Ibuku kelahiran Jawa, setelah ia memutuskan menikah dengan Bapak. Ibu langsung diboyong ke Tangerang untuk menetap di sana. Namun, sebulan

Nikmat Sholawat: Diutamakan Saat Kiamat

Tahun 2017 lalu, aku pernah mengulas sedikit pengalaman tentang mengamalkan shalawat bersama teman-temanku. Niat awal hanya ingin mengabadikan perjalanan yang sederhana dan penuh makna. Tetapi di luar dugaan alhamdulillah tulisanku diterima banyak orang, bahkan ada yang termotivasi   untuk ikut mengamalkan sehari seribu shalawat. Selain yang pernah kutuliskan sebelumnya, sebetulnya sampai sekarang pun banyak keajaiban-keajaiban kecil yang aku dapat berkat fadhilah mengamalkan shalawat. Misalnya sebulan yang lalu aku sempat mengalami kesulitan perekonomian. Uang tabungan sudah defisit untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran yang tak terduga. Apalagi ketika musim nikahan di sana-sini, bayar arisan yang selalu nombokin, ongkos magang yang over budgeting , itu cukup membikin kepalaku mumet tak keruan. Ditambah uang saku yang diberikan ibu tidak seberapa dan kadang masing kurang. Sedihnya aku sampai harus jual kedua cincinku supaya bisa bayar arisan setiap minggunya. Samp