Skip to main content

Menawar Nasib Kehidupan

Renata sedang duduk melamunkan kesumpekan hidup. Tiba-tiba Betty bercerita bahwa kemarin teman kuliahnya ditemukan tewas gantung diri di kamar kosnya, “gara-gara terbebani masalah tugas dan uang kuliah.” kata Betty mengakhiri cerita.
“Kok bisa?”  sahut Renata setengah tidak percaya.
“Begitulah jika mudah menyerah pada keputusasaan” kata Betty sebelum melanjutkan, “memusingkan hal-hal kecil cuma bikin hambatan untuk hidup kita.”
“Apa yang kamu anggap kecil belum tentu sama dengan yang diyakini temanmu itu. Siapa tahu ada masalah besar yang sedang dihadapinya.
Betty tersenyum. “Begitu banyak hal-hal yang kita anggap sebagai masalah besar sebetulnya hanyalah masalah kecil yang kita ubah sendiri menjadi masalah besar. Mengakhiri hidup dengan gantung diri tidak semata-mata membuat masalah itu selesai.”
Renata menatap Betty dengan perasaan agak kecewa. Ya, ia kecewa. Air mukanya berubah seperti menahan sesuatu yang mengguruh di dadanya. Bagaimanapun, ia merenungkannya juga perkataan Betty barusan. Sebab sebulan terakhir, pikiran untuk mengakhiri hidup menghantui benak Renata. Ia muak dengan hidup yang tak pernah memihak dirinya. Ia menjalani hidup seperti seonggok jasad yang kehilangan jiwa: kosong dan hampa. Hidupnya penuh dengan kubangan kesepian. Bahkan Kakak laki-laki dan ibunya tidak menghormati kehadiran Renata. Renata juga tidak menghormati mereka. Tidak ada yang lebih menyedihkan dari seseorang yang kehilangan gairah.
Renata kembali melamun.
Hari sudah hampir tumbang, tapi Renata dan Betty masih betah duduk di rooftop sambil menatap langit-langit yang agak mendung. Di hatinya, Renata merapal doa semoga besok tidak sebajingan hari ini.
“Kesumpekan kehidupan di luar sana bisa diurai salah satunya dengan tidak membuat masalah kecil jadi masalah besar. Memusingkan hal-hal kecil, misalnya merasa sendirian, bisa membikin hidup kita jadi terasa lebih sumpek.” Betty berkata kepada dirinya sendiri, seolah ia sedang menyindir sahabatnya yang lebih banyak diam. Renata hanya memejamkan mata sambil memijat dahinya.
“Perasaan kesepian”, Betty kembali mencerocos, “sebenarnya hanya ilusi yang dibuat-buat manusia. Boleh jadi selama ini kita hanya merasa sendirian, padahal tidak ada manusia yang benar-benar sendirian dalam menjalani kehidupannya. Manusia selalu berjalan dengan hal-hal baik yang pernah dia bagi di masa lalu.”
Renata tetap termangu. Lalu akhirnya mereka sama-sama terbius keheningan.
“Kamu tahu betul bagaimana buruknya kelakukanku.” kata Renata memecahkan lamunan.
“Aku juga melakukan keburukan yang tak terhitung jumlahnya.”
“Tapi aku lebih bajingan. Aku telah tidur dengan beberapa laki-laki. Meski aku masih perawan, sebab punyaku tidak bisa ditembus.”
“Itu alasan kamu melamun terus dari tadi?”
“Barangkali hidup akan jadi lebih baik jika aku tidak ada.”
“Terus kita tidak punya harapan, gitu? Emang hidup lurus terus? Kan tidak.
Suara adzan terdengar mengalun dari surau, sudah Magrib rupanya. Tapi mereka masih asyik menyelami kata-kata yang tidak mau berhenti bergejolak di kepala mereka.
“Tidak mau salat dulu?” tanya Betty.
“Sebentar, setengah jam lagi.” Renata memotong.

Baca juga: Mencintai Diri Sendiri
***

Demikianlah mereka kembali melanjutkan bercerita. Renata dan Betty bertetangga, tapi baru di usia 16 tahun mereka mulai bersahabat, itupun karena sewaktu SMA mereka masuk di sekolah dan kelas yang sama. Biarpun sekarang mereka kuliah di kampus yang berbeda, mereka masih sering saling berbagi kisah sedih dan cinta di antara mereka. Namun Renata lah yang lebih banyak menceritakan hal-hal sedih karena cinta sepihak. Betty tidak terlalu banyak menceritakan kisah percintaannya. Dia tidak suka laki-laki, barangkali.
 “Betty,” panggil Renata lirih.  Betty menoleh dan menatap dengan mantap seolah ia ingin mengatakan bahwa ia telah siap mendengarkan semua keresahannya.
 “Kadang aku merasa amat buruk. Aku tidak pantas untuk sesiapa pun. Ada banyak ketidakbaikan dalam diriku. Aku selalu mencari banyak bibir untuk melampiaskan kemarahanku pada hidup. Tuhan yang sedih sekalipun tidak mau memaafkan semua ketololanku ini.”
“Merasa buruk itu tidak buruk. Tapi berprasangka buruk kepada yang memberikan hidup itu jauh lebih buruk. Apa-apa yang baik datang dari prasangka baik. Begitupun sebaliknya. Lagi pula, “Laa yukallifullohu nafsan illaa wus’ahaa!”. Itulah sebabnya setiap masalah di hidup kita selalu ada jalan keluarnya. Sudah satu paket.”
Renata nyeletuk, “Kebiasaanmu pamer ayat belum hilang juga ternyata.” Betty hanya tertawa, tapi Renata menghela napas lebih panjang, lebih berat.
“Kenapa Tuhan menciptakan aku sebegini bajingannya?” tanya Renata frustasi.
“Semakin otakmu memvalidasi sisi gelap dirimu, itu hanya akan membuat kamu semakin memaklumi kesalahan-kesalahanmu.”
“Ngawur! Aku sama sekali tidak pernah memaklumi kesalahan-kesalahanku. Malah hampir setiap hari aku menangis. Tentu saja aku merasa bersalah.”
“Itu validasi lisan saja. Tubuhmu tidak. Maksudku, tubuhmu akan selalu begitu ketika terbawa momen atau situasi. Mau sesering apa pun hatimu menyesali, jika tidak dibarengi dengan komitmen yang kuat, keinginanmu untuk berubah hanya sampai di kerongkongan belaka. Tidak mengendap di kepala, menguap begitu saja. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, kamu akan tetap kalah oleh nafsumu sendiri.”
 Betty memandangi Renata lumayan lama. Ia melihat wajah Renata berubah jadi lebih murung. Matanya merah berkaca-kaca. Cukup jelas bahwa Renata sedang menahan untuk tidak menangis.”
“Jangan ditahan. Kalau menangis bisa membuatmu lebih tenang, menangis saja.” Betty mencoba menghibur sahabatnya itu, kemudian ia mengelus lembut bahu dan merangkulnya.
“Ini terdengar naif memang, tapi jangan lagi kamu menganggap dirimu bajingan. Bagaimapun kamu itu tetap berharga. Punya nilai. Kalau kamu terus mendeklarasikan dirimu  berengsek, tubuhmu akan terus merespon dan mewujudkan kesalahan-kesalahanmu itu.” kata Betty dengan penuh hati-hati, ia takut ucapannya malah justru melukai perasaan Renata dan memperburuk suasana.
Mulut Renata seperti terkunci, ia tidak bisa mengeluarkan sepatah kata, bahkan ia tidak mampu untuk sekadar membantah apa yang dikatakan Betty.  Ia akhirnya menangis di pelukan Betty.
“Aku minta maaf,” kata Renata yang masih menangis.
“Minta maaflah kepada dirimu sendiri. Kamu sudah terlalu sering menyakitinya.”
“Begini,” kata Betty sambil mengusap kepala Renata, “hidup itu tidak berjalan mundur, tidak juga menetap di masa lalu. Ada sisi positif dari setiap peristiwa. Masalahnya kita harus menyadari realitas bahwa selalu ada cara yang lebih baik untuk menghargai yang sudah ada.”
“Tapi, kan...”
“Jangan memotong dulu, aku masih ingin ceramahin kamu!”
“Ais, baiklah-baiklah.” Ia menyedot ingus, tapi sudah tidak menangis lagi.
Kemudian Betty kembali melanjutkan, “tidak penting kita ini apa. Kesalahan-kesalahan kita justru mengajarkan kita untuk menjadi manusia. Sabar menanam dan berkebun untuk  menawar nasib kehidupan kepada Tuhan. Yang menjadikan kita ada hidup sementara di dunia ini adalah kita berbuat apa. Parameternya bermanfaat atau tidak, bukan tentang seberapa buruknya masa lalu kita. Jangan pusing mikirin diri, sibuk saja melakukan apa yang baik-baik ke depannya. Perbuatan-perbuatan baik itu bisa menghapus kesalahan-kesalahan.”
 “Terus?”
 “Terus... sudah jam berapa ini? Haduh, kita belum salat.” Betty buru-buru turun. “Masih ada sepuluh menit untuk sekali salat sebelum adzan Isya.”
Maka mereka berdua beranjak dari rooftop dengan keadaan yang lebih baik. Saat-saat menuruni anak tangga, Renata terdengar bersenandung kegirangan.




Tangerang, 27 Juni 2020.

Comments

Popular posts from this blog

Sehari Seribu Sholawat

Sehari Seribu Sholawat Bismillaahir Rahmaanir Rahiim... Kamu tahu apa manfaat dari mengamalkan sholawat setiap hari? Jawabannya, manfaat sholawat banyak banget. Banget! Nggak kehitung, deh, seberapa banyak kemudahan yang bakalan kita dapat setelah mengamalkan sholawat. Cuma dengan sholawat, Insyaa Allah, kita bisa mendapatkan apa aja yang kita butuh. Percaya? Oke, nggak apa-apa kalau kamu nggak percaya. Tapi ini beneran! Aku nggak ngibul. Sumpah. Aku akan tulis tentang pengalamanku setelah mengamalkan seribu sholawat setiap hari sesuai dengan apa yang terjadi waktu itu, meskipun tidak terlalu detail, tapi itulah intinya. Aku tulis cerita ini, bukan maksud aku ingin dianggap sok suci, sok alim, atau pun riya karena ingin dipuji. Bukan, sama sekali bukan. Demi Allah, aku hanya ingin berbagi pengalaman yang sudah aku dan teman-temanku rasain selama di Lampung berkat ngamalin sehari seribu sholawat. Aku hanya ingin kamu yang membaca tul

Tak Semanis Nasib Anak Tetangga

Tak Semanis Nasib Anak Tetangga Source: Pinterest AKULAH Anindya, terlahir untuk diremeh-temehkan. Mungkin kau tak percaya atau bahkan tertawa kecil sambil berujar mana mungkin ada orang yang bernasib sedemikian buruk. Barangkali kau sudah mendengar cerita tentang diriku dari para petualang di penjuru negeri sehingga mendapat gambaran yang amat keliru tentangku. Aku lahir dengan nama kecil Anin. Bapak ku hanya seorang buruh pabrik biasa. Tak berdasi, apalagi punya banyak materi di sana-sini. Ibuku, Nunik, pun sama, sehari-hari kesibukannya hanya mengurusi dapur dan sumur. Namun, setelah menjelang Ma gh rib pekerjaannya bertambah satu:  mengajar anak-anak mengaji di surau dekat rumahku tinggal. Begitulah kiranya keadaanku. Aku bukan anak perempuan yang terlahir dari keluarga berada. Aku lahir di Magelang , tapi besar di Tangerang. Ibuku kelahiran Jawa, setelah ia memutuskan menikah dengan Bapak. Ibu langsung diboyong ke Tangerang untuk menetap di sana. Namun, sebulan

Nikmat Sholawat: Diutamakan Saat Kiamat

Tahun 2017 lalu, aku pernah mengulas sedikit pengalaman tentang mengamalkan shalawat bersama teman-temanku. Niat awal hanya ingin mengabadikan perjalanan yang sederhana dan penuh makna. Tetapi di luar dugaan alhamdulillah tulisanku diterima banyak orang, bahkan ada yang termotivasi   untuk ikut mengamalkan sehari seribu shalawat. Selain yang pernah kutuliskan sebelumnya, sebetulnya sampai sekarang pun banyak keajaiban-keajaiban kecil yang aku dapat berkat fadhilah mengamalkan shalawat. Misalnya sebulan yang lalu aku sempat mengalami kesulitan perekonomian. Uang tabungan sudah defisit untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran yang tak terduga. Apalagi ketika musim nikahan di sana-sini, bayar arisan yang selalu nombokin, ongkos magang yang over budgeting , itu cukup membikin kepalaku mumet tak keruan. Ditambah uang saku yang diberikan ibu tidak seberapa dan kadang masing kurang. Sedihnya aku sampai harus jual kedua cincinku supaya bisa bayar arisan setiap minggunya. Samp