Dunia Maya dan Hiperrealitas
Setelah dipikir-pikir
lagi, dulu cukup intens berselancar di media sosial, khususnya Instagram. Jempol digunakan untuk menyukai foto sana-sini. Bahkan saya bisa mengunggah foto
hampir setiap hari. Dan itu ternyata membikin cukup banyak orang yang menyukai foto saya.
Sekarang ini, saya makin malas
berselancar di media sosial. Tepatnya merasa bosan karena yang didapat hanya
itu-itu saja. Akhirnya semakin jarang lah membuka Instagram. Update foto baru juga terbilang
jarang, bisa berbulan-bulan malah. Dampaknya, followers saya
banyak yang pada mabur. Mungkin beranggapan pemilik akunnya sudah tak aktif
lagi. Di samping itu, ketika mengunggah konten baru pun like yang didapat
tak sebanyak dulu. Bisa dikatakan, dulu memang saya segila itu dengan Instagram.
Barangkali karena eksistensi saya di
media sosial mulai memudar, ditambah sekarang saya tak
lagi gila like. Jadi merasa bodo amat jika like yang saya dapat
hanya secuil saja. Apalagi saya makin tak berselera untuk berswafoto dan
memejengnya di galeri Instagram saya.
Takut-takut kalau dosa saya kian hari kian
menjulang tinggi. Tersebab setiap yang saya unggah,
akan mendapatkan pertanggungjawabannya di hari pembalasan. Tapi, bukan ini yang
mau saya bahas.
Saya
melihat sekarang media sosial menjadikan manusia tenggelam dalam hiperrealitas.
Saya
jadi ingat dengan teori Postmodern yang ditenggarai oleh Jean Baudrillard
tentang hiperrealitas. Baudrillard menyebutkan dalam bukunya "Simulacra and Simulation", bahwa hiperrealitas merupakan sebuah konsep dimana realitas
yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan
tanda-tanda yang melampaui batas realitas sebenarnya.
Hiperealitas menghadirkan model-model kenyataan sebagai sebuah simulasi, yaitu tiruan yang mirip dengan aslinya. Dimana fakta yang ada di media sosial kerap kali bersimpang siur dengan rekayasa dan dusta bersenyawa dengan kebenaran.
Bahkan media sosial telah membuat manusia mengalami sesuatu yang
melebihi realitas dan semakin lama kehilangan realitas atau kehidupan
sebenarnya yang nyata. Terlebih di
media sosial, orang bisa mencitrakan dirinya sesuka hati, sehingga citra yang
muncul benar-benar positif. Menurut penulis, sekarang terlalu banyak orang yang
sibuk membangun citranya di dunia maya. Sebagai contoh
saya pernah
tertipu dengan paras cantik selebram yang saya idolakan
itu. Ketika mendapat kesempatan untuk bertemu di dunia nyata, ternyata penampilannya (maaf)
biasa-biasa saja. Kesan cantik dan imut yang sempat bersemanyam di kepala saya
hilang seketika.
Ini menunjukkan simulasi yang diperagakan oleh selebgram-selegram cantik itu telah melampaui realitas aslinya. Padahal kenyataannya belum tentu sama. Bisa jadi lebih buruk dari apa yang kita pikirkan. Bisa jadi lebih jelek dari apa yang kita lihat. Meskipun begitu, kita tetap saja lebih percaya dengan apa yang ada di media sosial. Memang betul, ini bukan sebuah masalah yang harus dibesar-besarkan. Namun, fenomena ini menarik untuk dikaji lebih dalam. Karena kehidupan digital (red: internet), telah mendangkalkan cara pandang manusia, mengapa pikiran bisa menjadi dangkal? Ya, itu tadi, citra-citra kamuflase yang disimulasikan orang-orang di media sosial mampu menenggelamkan manusia pada hiperrealitas.
Ini menunjukkan simulasi yang diperagakan oleh selebgram-selegram cantik itu telah melampaui realitas aslinya. Padahal kenyataannya belum tentu sama. Bisa jadi lebih buruk dari apa yang kita pikirkan. Bisa jadi lebih jelek dari apa yang kita lihat. Meskipun begitu, kita tetap saja lebih percaya dengan apa yang ada di media sosial. Memang betul, ini bukan sebuah masalah yang harus dibesar-besarkan. Namun, fenomena ini menarik untuk dikaji lebih dalam. Karena kehidupan digital (red: internet), telah mendangkalkan cara pandang manusia, mengapa pikiran bisa menjadi dangkal? Ya, itu tadi, citra-citra kamuflase yang disimulasikan orang-orang di media sosial mampu menenggelamkan manusia pada hiperrealitas.
Sayangnya, banyak yang tidak mau memerhatikan fenomena ini. Alih-alih
tidak ingin mengurusi hidup orang lain, jadi fenomena ini pun kerap kali
diabaikan. Ada salah satu teman saya yang memberikan argumennya tentang ini,
dia berkomentar seperti ini:
”itu kan urusan mereka, akun-akun mereka, mau diapakan juga ya terserah mereka.
Selagi tidak merugikan, selagi tidak mengganggu, ya buat apa dipirkan.”
Saya hanya diam mendengarkan, lalu teman saya kembali melanjutkan, “hidup-hidup
mereka, ya bebas mau bagaimana juga. Kalau tidak suka, ya jangan dilihat. Sesederhana
itu, kan?
Bagi penulis sah-sah saja dia mau berkomentar seperti apa pun juga,
tapi jangan salah. Ini masalah lumayan serius lho!
Jika ada seseorang yang jarang atau bahkan tidak update di akun media
sosialnya dalam rentang waktu 6-12 bulan, ia akan dianggap tidak ada di
lingkungannya. Sekalipun dalam dunia nyata ia tetap ada, hanya lingkaran kecil
kehidupannya saja yang mengakui keberadaannya.
Ini artinya, eksistensi hiperrealitas di media sosial selalu
mengalahkan realitas yang sebenarnya. Dengan demikian, banyak orang yang tetap
berusaha mempertahankan eksistensi citranya di dunia maya. Kesimpulannya, jika
saya tidak update di akun Instagram saya dalam rentang waktu 6 bulan
lamanya, boleh jadi saya pun tidak dianggap ada di lingkungan sekitar saya.
Comments
Post a Comment