Dunia Kata, Fauzil Adhim
Beberapa waktu ini, saya memang kurang mengurusi blog. Bahkan kondisinya
sekarang terlihat sedikit usang dan berdebu. Kalau tetap tidak saya perhatikan,
barangkali usia blog saya tidak akan berumur panjang. Lalu sepi pembaca dan
akhirnya mati. Maafkan saya yang masih suka tersesat di belantara kemalasan. Dengan
ini saya berjanji untuk lebih sering lagi menulis.
“Setiap orang bisa menulis!” Setelah
mendengar kata-kata tersebut dari dosen saya, saya pun memilih untuk menulis. Dulu
sekali di awal saya membuat blog ini, saya tidak pernah memikirkan dengan
matang, isi, konten, dan pesan apa yang akan saya sampaikan kepada para
pembaca. Semua saya tulis dengan suka-suka. Hal-hal yang remeh-temeh pun tak
pernah absen untuk saya tuliskan. Lebih sering saya menulis tentang patah hati.
Cengeng sekali isi tulisan saya dulu. Bila diingat kembali, tujuan menulis saya
lebih mengarah pragmatis saja. Tidak ada ideal-idealnya. Saya melakukannya
hanya demi kesenangan belaka (baca: hobi).
Seseorang yang memosisikan penulisan hanya sebagai hobi saja sudah
dipastikan tidak memiliki tujuan atau target tertentu saat menulis. Terkadang mereka
menulis hanya sekadar untuk dirinya sendiri dan tidak terlalu peduli apakah
tulisannya dapat dibaca orang lain atau tidak. Karena itu, mereka dapat siapa
saja. Termasuk saya.
Lalu ketika saya menyadari intensitas menulis saya mulai menurun, saya
menjelajahi rak buku. Di sana saya mencari-cari buku yang sekiranya dapat
mengembalikan semangat menulis saya yang sempat mabur. Kemudian Semesta seperti
menjodohkan saya dengan buku Dunia Kata karangan M. Fauzil Adhim. Dari kovernya
memang sedikit kurang menarik. Padahal saya sudah memiliki buku ini sudah
lumayan lama, tapi tak pernah berniat untuk membacanya.
Nasihat “jangan menilai buku dari kovernya” dirasa benar
adanya. Pasalnya, buku ini cukup manarik untuk diulas. Setidaknya dapat
membantu saya untuk meluruskan kembali niat menulis saya yang hampir rusak. Bukan
niat hijrah saja yang harus diluruskan. Segala niat pun memang seharusnya
diluruskan. Biar tak tersesat di persimpangan jalan. Begitu juga dengan niat
menulis, harus diluruskan. Biar tetap konsisten menulis sekalipun badai
kemalasan menerjangnya. Pepatah “bisa karena terbiasa” betul-betul ampuh mandra
guna. Menulis itu bukan berbicara tentang teknis, tapi tentang keterampilan
kita mengasahnya (sialnya saya masih kurang rajin mengasah kemampuan menulis
saya. Huh!)
Salah satu cara mengasah keterampilan menulis ya, dengan membaca dan
kemudian menulis. Percayalah dua hal tersebut (membaca dan menulis) merupakan
sebuah strategi kebudayaan yang sangat canggih. Berawal dari sebuah tulisan,
pikiran orang berubah. Pandangan hidup, gagasan, nilai-nilai juga berubah. Cara
masyarakat memandang kita juga ikut berubah.
Apa hubungannya dengan Dunia Kata yang tulis oleh Fauzil
Adhim, ia menuliskan bahwa kalau kita ingin mengubah suatu bangsa – sekurang-kurangnya
teman kita sendiri – caranya antara lain
dengan mengubah bacaan mereka. Bagi siapa
pun yang memijakkan kakinya di dunia kepenulisan berarti telah meletakkan di
ujung penanya suatu sikap mental, suatu ideologi, suatu keyakinan, suatu
harapan dan sekurang-kurangnya satu pernyataan. Apalagi untuk tulisan jenis
fiksi, pengaruh sikap mental dan keyakinan itu akan lebih besar lagi.
Dari apa yang ditulis Fauzil Adhim, kita bisa mengambil kesimpulan:
setiap penulis harus pula memikirkan nilai apa yang akan dibawakannya. Tak
begitu penting apa yang kita tulis, yang terpenting adalah pesan apa yang akan
kita sampaikan dan kita tanamkan di hati para pembaca.
Secara bersamaan, ketika saya membaca buku ini seolah saya
disadarkan untuk segera bertaubat. Bertaubat dari menulis hal-hal bodoh yang
tidak ada manfaatnya sama sekali. Maka dari itu, bersiap-siaplah kita
menajamkan pena untuk memberikan kebaikan meski cuma sebutir sekalipun. Meski cuma
untuk teman-teman kita sendiri. Meski untuk hal-hal yang tampaknya sepele.
Yang membuat saya tertarik mengulas buku Dunia Kata kerena
kata-katanya cukup magis! Fauzil Adhim menyebutkan, kalau kita mau jadi
penulis, ada yang harus dipersiapkan. Bukan cuma bagaimana teknik menulis –
yang kiat-kiatnya sudah banyak bertebaran di berbagai buku. Namun, ada
idealisme juga yang harus kita bangun dalam jiwa, kita bangkitkan dalam hidup
kita, dan kita alirkan melalui tulisan. Melahirkan tulisan yang baik, tak cukup
hanya dengan mengandalkan pikiran dan sedikit imajinasi. Ada yang harus kita
pertanggungjawabkan kepada Tuhan yang menciptakan kita. Ada nilai-nilai yang
harus kita bawa. Ada kebenaran yang harus kita suarakan. Seketika saya mengangguk
mengamini kata-katanya ini.
Di samping itu, bahasa yang digunakan dalam buku Dunia Kata
juga terbilang renyah dan enak dikunyah. Siapa pun yang membacanya akan merasa
tak mau berhenti sebelum sampai di titik terakhir. Ini memang buku lama terbitan tahun 2004. Mulanya, saya tak pernah ada minat untuk membaca buku ini, tapi setelah melahap habis sampai halaman terakhir ternyata boleh juga
isinya. Apalagi dirasa pas buat kamu yang tengah berniat mengabadikan diri ke
dunia literasi. Karena itu, melalui Dunia Kata, Fauzil Adhim berbagi
resep rahasia untuk memikat pembaca melalui buku-buku best seller-nya
Sebetulnya alasan saya membaca buku Dunia Kata, selain untuk
mencari motivasi, juga untuk mencari kutipan-kutipan yang bagus, yang sekiranya
pas untuk ditulis di dinding kamar, supaya kalau sedang buntu dengan ide bisa menjadi
pemicu dan penyemangat bagi saya. “Bukan kehebatan bisa menulis buku setiap
bulan kalau cuma sekadar produktif, sementara isinya kosong tak bermakna,” (ini
nggak keren buat dikutip, percayalah!).
Nah, ketika mendarat di halaman 87, mata saya tertuju pada tulisan Fauzil Adhim
yang cukup membikin saya bergairah, “seperti listrik, inspirasi tak pernah
berhenti mengalir. Kalau lampu dalam diri kita tidak menyala, itu karena
saluran yang terganggu atau memang putus sama sekali. Maka, jika engkau ingin
inspirasi itu hidup, siapkan jiwamu untuk menyambutnya.” Lumayan bagus nih
buat ditulis di dinding kamar saya. Tapi, terlalu panjang nggak, sih?
Comments
Post a Comment