Skip to main content

Kilas Balik 2017

RESOLUSI?

Gue punya sedikit keresahan tentang resolusi gue di tahun 2018 ini. Bukan, bukan maksudnya gue nggak punya target hidup atau pun mimpi. Tapi, setiap gue membuat rencana hidup selama satu tahun ke depan, nggak ada satu pun yang berhasil gue gapai. Sebentar, jangan dulu salah mengartikan. Nggak berhasil digapai bukan berarti gue gak berusaha untuk mengapai apa yang gue cita-citakan. Masalahnya, apa yang gue rencanakan dengan apa yang Allah kehendaki amat jauh berbeda.

Beberapa tahun lalu sebelum masuk kuliah, gue membuat rencana hidup untuk lima tahun ke depan. Awalnya ini hanya tugas yang diberikan oleh guru BP. Beliau meminta semua murid untuk membuat rencana hidup dari lulus SMA sampai lima tahun yang akan datang. Jujur, gue kesulitan. Sebab gue nggak tahu apa yang akan terjadi di depan sana. Dengan niat yang kuat, gue berhasil menyelesaikan tugas itu. Hal lain yang bikin gue kesulitan merancang target hidup; gue salah satu spesies manusia yang hidupnya nggak teratur. Jangankan membuat rencana hidup selama lima tahun, membuat jadwal kegiatan-kegiatan yang akan gue lakukan selama satu minggu pun gue kebingungan, apalagi ini LIMA TAHUN!

Kau tahu apa yang terjadi setelah gue berhasil menuliskan semua target hidup untuk lima tahun yang akan datang? Percayalah, satu pun tidak ada yang sesuai dengan apa yang gue tulis. Kok, bisa? Ya bisa lah. Itu artinya rencana yang gue buat belum direstuin sama Allah. Boleh jadi Allah punya rencana yang jauh lebih baik untuk kemaslahatan hidup gue nantinya.

Di bawah ini gue akan kasih tahu apa saja yang gue rencanakan tempo dulu:
Pertama: setelah lulus SMA, gue mau kerja dulu selama satu tahun untuk nyari biaya kuliah. Gue nggak mau ngebebanin orangtua. Pasalnya, gue satu-satunya anak yang minta lanjut sekolah sampai ke perguruan tinggi. Abang gue semuanya hanya tamatan SMA saja. Di kampung gue, pemikiran orang-orangnya masih sedikit primitif. Anak gadis kalau sehabis lulus SMA, nggak lama biasanya langsung dinikahkan. Gilak! Gue nggak ada niatan untuk nikah muda. Walhasil gue tetap meminta untuk lanjut sekolah meskipun gue tahu, biaya kuliah itu mahal dan orangtua gue pasti bakalan kesusahan cari biaya. Tersebab alasan itulah gue ingin kerja dulu, dan nunda kuliah selama satu tahun supaya gue punya uang sendiri buat masuk kuliah. Mulia betulkan niat gue ini? Tolong, jangan ketawa!

Kedua, berhubung gue anak IPA dan sedikit tergila-gila dengan Matematika – meskipun selalu remedial kalau ulangan – Universitas Negeri Jakarta (UNJ) adalah kampus pertama yang gue pilih. Ya pastinya dengan mengambil program studi Matematika. Banyak yang bilang masuk Pendidikan Matematika di UNJ itu susah. Apalagi kadar kemampuan gue di bidang hitung menghitung masih pas-pasan. Tapi gue nggak nyerah, gue tetap menulis di daftar rencana hidup gue; UNJ adalah kampus yang nantinya akan gue jadikan sebagai proses belajar.

Ketiga, setelah wisuda, gue ingin menggantikan posisi Bu Eka – guru Matematika yang dulu gue idolakan di SMA. Gue kepengin mengabdikan diri menjadi guru Matematika di almamater sekolah gue.

Nggak perlu gue lanjutin, ya. Dari ketiga yang gue tulis di atas, cuma sekadar jadi harapan belaka. Semuanya melenceng. Waktu itu, setelah gue lulus SMA, alhamdulillah gue langsung nerusin kuliah. Ya, meskipun bukan masuk di kampus yang gue inginkan. Gue sekarang kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan mengambil program studi Komunikasi Penyiaran Islam. Serius gue nggak membual, awalnya gue nggak pernah kepikiran buat lanjutin sekolah di UIN, apalagi ngambil program studi yang sama sekali bukan passion gue.

Itu pun banyak rintangan yang harus gue lalui. Berkali-kali gagal masuk PTN. Sedih! Asli nggak bohong. Jalur raport, jalur SBM PTN, jalur undangan, semuanya nggak ada yang lolos. Berkat niat dan tekad yang kuat buat nerusin sekolah, akhirnya gue pilih UIN. Nggak hanya itu, gue pun dilema dengan program studi yang akan gue ambil. Benar-benar bingung waktu itu. Lalu, gue memutuskan untuk salat Istikhoroh. Cuma Allah yang Maha Tahu apa yang terbaik buat gue. Maka setelah dapat pencerahan, gue memilih Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam dan bertahan sampai sekarang.

Di awal tahun 2016 lalu, gue pernah juga bikin resolusi. Gue manargetkan di tahun 2016, gue harus dapetin beasiswa. Bagaimana pun jalannya harus gue tempuh. Berhasil? Ya, enggaklah. Tiga kali gue gagal dapetin beasiswa. Tiga kali pula gue dibuat sedih karena gagal terus. Padahal udah mati-matian nyiapin segala berkas yang ribetnya minta ampun. Di sini, gue masih belum bisa belajar bersyukur. Kecewa usaha gue nggak pernah dikabulin, gue sempat nyalahin ketentuan-Nya. Bilang Allah itu nggak adil lah, nggak mempermudah urusan gue lah, pokoknya gue putus asa dan marah sama Allah. Kenapa? mau protes? Itu kan, dulu. Sekarang udah nggak, kok. He he he inshallah.

Terlepas dari itu, gue jadi agak malas bikin resolusi. Maksudnya, gue tetap menargetkan apa yang ingin gue capai, tapi selebihnya gue serahkan semuanya kepada Tuhan Semesta Alam. Sebenarnya, masih banyak hal tak terduga yang Allah kasih beberapa tahun terakhir ini. Rasanya nggak akan cukup kalau diceritakan di sini. Terlalu banyak rencana hidup gue yang melesat. Tersebab itulah gue nggak pernah membuat resolusi lagi.

Barangkali gue kesiangan baru membicarakan perihal resolusi di tahun 2018 saat ini. Tapi, nggak apa-apa, gue akan tetap menceritakan sekalipun kau enggan untuk membacanya. Di tahun 2017 kemarin, banyak sekali hal-hal tak terduga yang gue dapatkan. Dimulai dari patah hati, kerasnya hidup, susahnya mencari rezeki, dibeda-bedakan dalam hal apa pun, gue rasain semuanya di tahun 2017 yangAlhamdulillah telah mengajarkan gue banyak hal.

Tak ada yang mengira, di tahun 2017, kedua kalinya gue kehilangan handphone. Belum genap 6 bulan tapi gue sudah mencetak rekor kehilangan 2 handphone dalam rentang waktu yang berdekatan. Keren!

Barangkali uang yang gue pakai untuk beli handphone kemarin, ada rezeki yang nggak halal, makanya Allah hilangkan dulu untuk digantikan sesuatu yang lebih baik lagi. Ternyata benar, Allah menggantikan semuanya dengan sesuatu hal yang nggak pernah gue duga sebelumnya.

Di tahun 2017 kemarin, gue nggak pernah ngira bakalan dapat kesempatan menjadi Asisten Editor di salah satu penerbit major. Meskipun cuma Asisten Editor, tapi banyak banget yang gue pelajari di sana. Gue belajar banyak tentang nulis dari naskah novel milik orang lain, gue pun jadi tahu kelebihan apa saja yang gue punya selama ini, ya meskipun telat nyadar, sih.

Bahkan, gue dikasih kesempatan untuk menjadi MC Press Conference selebgram yang gue idolakan; Gita Savitri Devi. Selama ini gue cuma mengagumi sosok Gita di media sosial, bulan September lalu, gue dipertemukan langsung. Ditambah ada nama gue di bukunya Gita. Sungguh ini nikmat yang tak kasat mata, namun amat bermakna.

Gue punya keinginan untuk menulis sebuah buku. Barang tentu banyak kaum yang sering melontarkan kalimat, ”kapan karyanya dibukukan?”, “kapan tulisan di blog update lagi,” dan sederet pertanyaan ‘kapan’ lainnya. Ketahuilah, di dunia ini ada beberapa perjalanan yang ditakdirkan lebih lama dari lainnya. Namun, bukan berarti tidak akan sampai pada tujuannya. Hanya saja, waktu ingin lebih banyak memberi pelajaran dan mengajari untuk lebih bersabar. Sebab, setiap orang memiliki peta kehidupannya masing-masing yang tidak bisa disamakan antara satu dengan yang lain.

Mungkin bukan di tahun 2017 atau 2018 gue ditakdirkan punya buku sendiri. Boleh jadi lima tahun ke depan, atau sepuluh tahun ke depan lebih berarti daripada sekarang ini. Tidak ada yang tahu, kan? Lagipula, gue cukup bersyukur, kok. Setidaknya, di tahun 2017 kemarin kurang lebih ada 7 novel yang di dalamnya ada nama gue. Iya, gue tahu, cuma sebagai penyelaras aksara. Bukan editor apalagi penulisnya.

Namun, dari apa yang sudah gue dapatkan dan gue lalui di tahun 2017, sedikit banyak telah merubahmindset gue. Terlebih soal rezeki.  Gue jadi jarang minta duit ke orangtua. Ini adalah sebuah pencapaian yang luar biasa bagi gue. Dulu, gue selalu memandang rezeki itu selalu hal-hal yang tampak saja. Dulu, gue baru bisa bersyukur kalau apa yang gue mau bisa gue dapatkan. Tapi sekarang gue jadi paham, rezeki bentuknya tak hanya yang tampak saja. Uang banyak cuma sekadar nominal. Sekarang, gue tetap hepi sekalipun nggak ada uang yang gue kantongi.

Mengutip dari kata-katanya Panji Remdana, rezeki itu bukan tentang seberapa banyak kita mendapatkan materi, bukan tentang sampai sejauh mana kita bisa menaiki tangga karir, bukan pula tentang kedudukan yang nyata, dan kekuasaan yang terasa. Rezeki adalah satu nikmat yang dapat dirasakan oleh orang-orang yang pandai bersyukur. Mendapatkan rezeki yang penuh berkah adalah tujuan utama  nikmat rezeki dalam hidup, bukan yang banyak, pun bukan pula yang tidak terbatas. Melainkan yang penuh dengan keberkahan.

Dan di tahun 2017 kemarin, banyak sekali kesusahan hidup yang memberikan banyak pelajaran tentang bersyukur. Di samping itu, gue pun akan mencoba belajar untuk mengabaikan omongan orang yang memandang gue sebelah mata. Apalagi, kemarin itu terlalu banyak orang yang suka menyamakan kemampuan gue dengan orang lain. Sedihlah kalau diceritakan di sini. Untuk kau kaum yang suka meremehkan bahkan menyamakan kemampuan orang lain, ketahuilah menjadi serupa itu tak enak. Pelangi saja indah sebab ia berbeda warna, kan? Sama halnya dengan pelangi, setiap orang pun memiliki warnanya masing-masing. Kau urusi saja warna hidupmu sendiri.

Terakhir, resolusi gue di tahun 2018: semoga bisa menjadi pribadi yang selalu menebarkan benih kebaikan kepada semua orang. Yang paling terpenting, sih, semoga gue nggak ‘murtad’ dari kekonsistenan nulis (lagi). Biar tulisan di blog makin banyak, biar naskah cerita bisa selesai rampung. Ha ha ha.

Apa pun mimpimu, teruslah berusaha untuk mewujudkannya. Jika selama di perjalanan menggapai cita-citamu  terlalu banyak badai yang menerjang, berteduhlah sebentar. Istirahatkan dirimu sejenak. Dan jangan lupa, mintalah bantuan kepada Tuhan supaya bebanmu menjadi ringan. Ketahuilah, mimpimu tak akan terwujud tanpa adanya peran Tuhan.

Daaaaaaan, resolusi kau di tahun 2018 pun turut serta kudoakan. Semoga apa yang belum sempat kau gapai di tahun lalu, bisa kau dapatkan di tahun ini, ya. 

Comments

Popular posts from this blog

Sehari Seribu Sholawat

Sehari Seribu Sholawat Bismillaahir Rahmaanir Rahiim... Kamu tahu apa manfaat dari mengamalkan sholawat setiap hari? Jawabannya, manfaat sholawat banyak banget. Banget! Nggak kehitung, deh, seberapa banyak kemudahan yang bakalan kita dapat setelah mengamalkan sholawat. Cuma dengan sholawat, Insyaa Allah, kita bisa mendapatkan apa aja yang kita butuh. Percaya? Oke, nggak apa-apa kalau kamu nggak percaya. Tapi ini beneran! Aku nggak ngibul. Sumpah. Aku akan tulis tentang pengalamanku setelah mengamalkan seribu sholawat setiap hari sesuai dengan apa yang terjadi waktu itu, meskipun tidak terlalu detail, tapi itulah intinya. Aku tulis cerita ini, bukan maksud aku ingin dianggap sok suci, sok alim, atau pun riya karena ingin dipuji. Bukan, sama sekali bukan. Demi Allah, aku hanya ingin berbagi pengalaman yang sudah aku dan teman-temanku rasain selama di Lampung berkat ngamalin sehari seribu sholawat. Aku hanya ingin kamu yang membaca tul

Tak Semanis Nasib Anak Tetangga

Tak Semanis Nasib Anak Tetangga Source: Pinterest AKULAH Anindya, terlahir untuk diremeh-temehkan. Mungkin kau tak percaya atau bahkan tertawa kecil sambil berujar mana mungkin ada orang yang bernasib sedemikian buruk. Barangkali kau sudah mendengar cerita tentang diriku dari para petualang di penjuru negeri sehingga mendapat gambaran yang amat keliru tentangku. Aku lahir dengan nama kecil Anin. Bapak ku hanya seorang buruh pabrik biasa. Tak berdasi, apalagi punya banyak materi di sana-sini. Ibuku, Nunik, pun sama, sehari-hari kesibukannya hanya mengurusi dapur dan sumur. Namun, setelah menjelang Ma gh rib pekerjaannya bertambah satu:  mengajar anak-anak mengaji di surau dekat rumahku tinggal. Begitulah kiranya keadaanku. Aku bukan anak perempuan yang terlahir dari keluarga berada. Aku lahir di Magelang , tapi besar di Tangerang. Ibuku kelahiran Jawa, setelah ia memutuskan menikah dengan Bapak. Ibu langsung diboyong ke Tangerang untuk menetap di sana. Namun, sebulan

Nikmat Sholawat: Diutamakan Saat Kiamat

Tahun 2017 lalu, aku pernah mengulas sedikit pengalaman tentang mengamalkan shalawat bersama teman-temanku. Niat awal hanya ingin mengabadikan perjalanan yang sederhana dan penuh makna. Tetapi di luar dugaan alhamdulillah tulisanku diterima banyak orang, bahkan ada yang termotivasi   untuk ikut mengamalkan sehari seribu shalawat. Selain yang pernah kutuliskan sebelumnya, sebetulnya sampai sekarang pun banyak keajaiban-keajaiban kecil yang aku dapat berkat fadhilah mengamalkan shalawat. Misalnya sebulan yang lalu aku sempat mengalami kesulitan perekonomian. Uang tabungan sudah defisit untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran yang tak terduga. Apalagi ketika musim nikahan di sana-sini, bayar arisan yang selalu nombokin, ongkos magang yang over budgeting , itu cukup membikin kepalaku mumet tak keruan. Ditambah uang saku yang diberikan ibu tidak seberapa dan kadang masing kurang. Sedihnya aku sampai harus jual kedua cincinku supaya bisa bayar arisan setiap minggunya. Samp