Maaf, hijrahku palsu.
Aku minta maaf atas hijrahku yang sempat kurusak.
Aku membiarkan lelaki itu menjelajahi tubuhku. Setengah dari diriku
membiarkannya untuk terus melanjutkan aksinya yang lancang. Tapi, setengah diriku
yang lainnya menolak. Ada perih yang terasa di dada. Aku tak tahu itu pertanda
apa. Dengan bodohnya, aku masih membiarkan lelaki itu membuka kancing kemejaku.
Aku ingin menolak namun suaraku tercekat. Seperti ada sesuatu yang menghalangi
pita suaraku. Aku hanya memejamkan mata dan berharap lelaki itu berhenti
berbuat bejat terhadapku.
Dugaanku salah. Ia tetap membelai kepalaku, kemudian ke tangan. Aku
semakin memejamkan mata. Tak ingin menatap mata lelaki bejat itu. Sekali lagi
aku ingin berteriak, tapi setengah diriku yang jahat membungkam mulutku agar
tetap diam dan menikmatinya. Aku tak bisa menolaknya, ada hangat yang menjalar
ke sekujur tubuhku. Namun, perih di dada semakin terasa.
Perang batin berkecamuk di hatiku. Ingatan masa lalu seketika
memehuhi memoriku. Bayang-bayang kesalahan itu, perangai buruk yang pernah kulakukan
tempo lalu, ucapan temanku yang menghinaku, janjiku kepada Tuhan Semesta Alam
untuk tidak mengulangi kesalahanku terekam dengan jelas di kepala. Semua bercampur
aduk menjadi satu adonan yang membuatku semakin ngeri.
Hentikan, Bi! Kau pernah berjanji untuk tidak mengulanginya. Lantas,
hari ini kau ingin menghancurkan janjimu? Bangun, Bi! Lalu pergi tinggalkan
lelaki bejat itu. Setengah
diriku yang lainnya – yang baik tentunya – berbisik lembut di telingaku.
Aku tetap diam. Cengkramanku pada ujung baju semakin kuat. Aku ingin
menolak. Sungguh. Kau harus percaya padaku. Tapi setengah diriku yang jahat
teramat kuat menguasai diriku, sampai-sampai aku tak bisa menolak dan beranjak.
Derap jantungku semakin memburu. Sama halnya dengan lelaki bejat
itu, ia semakin lancang memburu tubuhku. Aku terisak pelan. Entah apakah ia
mengetahuinya atau tidak. Aku rasa tidak. Ia terus membelai lembut tengkukku. Aku
merasa panas di sekujur mukaku. Air mataku luruh seenaknya. Sesaat ia hendak
menciumku tangisku pecah. Aku mendorongnya sampai ia terhuyung ke belakang. Aku
menangis sejadi-jadinya. Aku malu. Sungguh teramat malu. Jelas-jelas ada Allah
yang melihatku. Aku memeluk lutut, lalu menangis sedalam-dalamnya di sana.
Allah telah menolongku. Sebelum lelaki itu berbuat jauh terhadap
diriku, Allah memberiku kekuatan untuk menolak. Kutepis tangan lelaki itu
berkali-kali. Sampai akhirnya aku berani mendorongnya.
“Maaf. Aku khilaf, Bi.” katanya saat ia melihat tangisku
semakin membabi buta. “Maaf” katanya lagi. Berkali-kali ia meminta maaf
tapi mulutku tetap bergeming. Aku tak bisa membendung air mataku. “Aku antar
kamu pulang ya, Bi,” suaranya gemetar, ada nada penyesalan dari lelaki itu.
Ia mencoba meraih tanganku, namun langsung aku tepis.
Aku bergegas meninggalkan lelaki sialan itu. Keparat! Tak tahu
malu! Makiku untuk diriku sendiri. Sambil menunggu ojek online
tangisku tetap setia menemani. Tak peduli meskipun ada banyak pasang mata yang
menatapku heran. Sekeras hati kuteguhkan diri, menganggap tak terjadi apa-apa dengan
hari ini, namun potongan-potongan kejadian itu masih menusuk ingatanku. Aku gagal
membendung air mata untuk tidak turun lebih deras.
Mengapa Tuhan tak menyuruh Izrail untuk mengambil paksa nyawaku
saja?
“Mba, helm-nya.” Suara bapak ojek online mengaburkan lamunanku. Dahi bapak itu tiba-tiba mengkerut kala melihat mataku memerah. “Kenapa, Mba? Habis menangis, ya? matanya mendelik pertanda penasaran mengapa mataku memerah dan maskerku basah. “Nggak, Pak,” jawabku singkat, lalu aku langsung menaiki motornya. Tak ingin lama-lama berada di sana.
Selama di perjalanan aku masih tetap menangis. Entah berapa kali pertanyaan bapak ojek online yang aku abaikan. Aku tidak mendengarnya, aku terfokus pada lukaku yang baru saja terkorek kembali. Satu tahun aku menahannya. Satu tahun pula aku tidak pernah melakukannya lagi. Dan kali ini aku kembali menjadi perempuan keparat. Aku membiarkan sisi burukku yang jahat itu hidup kembali, setelah lama kukubur paksa.
Aku mendongak ke langit. Dengan lirih kuutaran maafku kepada
semesta, “Maaf, hijrahku palsu, Tuhan.” Sesaat kemudian tangisku pecah
sejadi-jadinya.
Perlahan namun pasti, Allah tengah melindungiku. Mencoba menjauhkanku
dari orang-orang yang tak baik. Pun Allah tengah berusaha menyadarkanku, bahwa
apa yang pernah kuperbuat itu salah. Allah ingin aku menjauhi itu semua. Terlebih
hal-hal yang membikin dosaku semakin menjulang tinggi.
Sungguh, aku teramat menyesali. Mengapa bisa-bisanya aku nampak
bodoh dan tak bisa menjaga diri. Aku marah. Benci. Sesak di dada makin
menyergap kala ingatan-ingatan itu kembali menyeruak ke permukaan. Memaksaku untuk
terus mengingatnya.
Aku tahu, hidup itu ke depan. Tak seharusnya aku menangisi
perangaiku yang buruk di masa lalu. Seburuk apa pun masa lalu yang kupunya, aku
tak akan pernah bisa merubahnya. Masa depanlah yang harus aku rubah. Kemudian,
aku tata kembali niat hijrahku yang kemarin sempat rusak. Percayalah, aku ingin
memperbaikinya. Aku tak ingin lagi kilatan-kilatan masa lalu itu terus
menerorku. Membuat hidupku gelisah. Lalu, menghantarkanku ke gerbang penyesalan
yang tak berkesudahan.
Aku ingin berubah. Aku ingin hidupku cerah dan dipenuhi banyak
warna. Bukan lagi warna hitam pekat yang penuh dijejali dosa. Atau warna
abu-abu yang membuat hidupku semakin kelabu.
Aku merasa diriku seperti memiliki kepribadian ganda. Di satu waktu
aku akan menampilkan sisi diriku yang baik. Aku akan bersikap menjadi perempuan
lembut, rajin pergi ke majelis ilmu, ataupun rajin menasehati teman-temanku. Namun
di satu waktu yang lainnya, aku akan menampilkan sisi evil-ku. Kadang di
lain waktu, aku kerap mengabaikan perintah-Nya. Hawa nafsu yang menguasai
diriku merubah diriku menjadi perempuan bejat nan keparat.
Aku pernah berjanji untuk tidak menjalin cinta dengan lelaki,
tetapi janji itu hanya menjadi bualan belaka. Aku memang tidak lagi pacaran,
namun aku masih suka memberikan perhatian kepada lelaki yang aku cinta. Aku
masih suka jalan berdua dengan dia. Padahal waktu itu aku memutuskan untuk
hijrah. Penampilan pun kurubah. Baju ketat yang dulu sering kupakai, tak lagi
kukenakan. Bahkan, sesekali kujulurkan kerudungku hingga menutupi dada. Aku keliru.
Hanya sebatas penampilanku saja yang berubah. Kuliatas ibadah? Makin buruk dan
berantakan.
Maaf, hijrahku palsu. Sekalipun media sosialku banyak dibanjiri
perihal agama, nyatanya ilmuku masih segitu-segitu saja. Tak bertambah satu
ilmu pun yang kudapat.
Katanya, perempuan itu harus bisa menjaga pandangan. Tak boleh
memperlihatkan auratnya sembarangan. Katanya,
perempuan itu harus bisa menjaga diri. Tak boleh secuil kulit pun yang boleh
disentuhi lelaki. Katanya, perempuan itu perhiasan dunia. Perhiasan yang lebih
mahal harganya daripada intan dan permata. Katanya lagi, perempuan itu – yang sholehah
tentunya – jauh lebih maharatu daripada bidadari surga. Masih katanya,
perempuan itu tak boleh mesra-mesraan dengan lelaki yang bukan muhrimnya.
Jika apa yang katanya itu benar, demi Tuhan, perempuan itu bukan
aku orangnya. Aku berani bertaruh, tak banyak perempuan yang bisa seperti itu. Dunia
dan segala pernak-perniknya teramat jahat menggodai. Apalagi bangsa setan, ia
tak akan pernah berhenti menyengsarakan manusia sebelum manusia itu tersungkur
ke jurang neraka.
Manusia macam Adam dan Hawa saja tertipu, apalagi macam aku? Apakah
aku masih layak disamakan dengan permata? Ataukah perangaiku jauh lebih busuk
daripada sampah?
Pertanyaan-pertanyaan
itu menari-nari di kepalaku. Aku semakin sedih dibuatnya.
Aku minta maaf atas hijrahku yang sempat kunodai. Barangkali, satu
hari yang lalu hijrahku masih palsu. Tapi, hari ini, semoga Tuhan Seluruh Alam
senantiasa memberikan hidayah ke celah hatiku yang mulai menghitam.
Sekali lagi aku minta maaf atas hijrahku yang palsu.
Bianka.
Comments
Post a Comment