Skip to main content

Maaf, Hijrahku Palsu.

Maaf, hijrahku palsu.

Aku minta maaf atas hijrahku yang sempat kurusak.

Aku membiarkan lelaki itu menjelajahi tubuhku. Setengah dari diriku membiarkannya untuk terus melanjutkan aksinya yang lancang. Tapi, setengah diriku yang lainnya menolak. Ada perih yang terasa di dada. Aku tak tahu itu pertanda apa. Dengan bodohnya, aku masih membiarkan lelaki itu membuka kancing kemejaku. Aku ingin menolak namun suaraku tercekat. Seperti ada sesuatu yang menghalangi pita suaraku. Aku hanya memejamkan mata dan berharap lelaki itu berhenti berbuat bejat terhadapku.

Dugaanku salah. Ia tetap membelai kepalaku, kemudian ke tangan. Aku semakin memejamkan mata. Tak ingin menatap mata lelaki bejat itu. Sekali lagi aku ingin berteriak, tapi setengah diriku yang jahat membungkam mulutku agar tetap diam dan menikmatinya. Aku tak bisa menolaknya, ada hangat yang menjalar ke sekujur tubuhku. Namun, perih di dada semakin terasa.

Perang batin berkecamuk di hatiku. Ingatan masa lalu seketika memehuhi memoriku. Bayang-bayang kesalahan itu, perangai buruk yang pernah kulakukan tempo lalu, ucapan temanku yang menghinaku, janjiku kepada Tuhan Semesta Alam untuk tidak mengulangi kesalahanku terekam dengan jelas di kepala. Semua bercampur aduk menjadi satu adonan yang membuatku semakin ngeri.

Hentikan, Bi! Kau pernah berjanji untuk tidak mengulanginya. Lantas, hari ini kau ingin menghancurkan janjimu? Bangun, Bi! Lalu pergi tinggalkan lelaki bejat itu. Setengah diriku yang lainnya – yang baik tentunya – berbisik lembut di telingaku.

Aku tetap diam. Cengkramanku pada ujung baju semakin kuat. Aku ingin menolak. Sungguh. Kau harus percaya padaku. Tapi setengah diriku yang jahat teramat kuat menguasai diriku, sampai-sampai aku tak bisa menolak dan beranjak.

Derap jantungku semakin memburu. Sama halnya dengan lelaki bejat itu, ia semakin lancang memburu tubuhku. Aku terisak pelan. Entah apakah ia mengetahuinya atau tidak. Aku rasa tidak. Ia terus membelai lembut tengkukku. Aku merasa panas di sekujur mukaku. Air mataku luruh seenaknya. Sesaat ia hendak menciumku tangisku pecah. Aku mendorongnya sampai ia terhuyung ke belakang. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku malu. Sungguh teramat malu. Jelas-jelas ada Allah yang melihatku. Aku memeluk lutut, lalu menangis sedalam-dalamnya di sana.

Allah telah menolongku. Sebelum lelaki itu berbuat jauh terhadap diriku, Allah memberiku kekuatan untuk menolak. Kutepis tangan lelaki itu berkali-kali. Sampai akhirnya aku berani mendorongnya.
Maaf. Aku khilaf, Bi.” katanya saat ia melihat tangisku semakin membabi buta. “Maaf” katanya lagi. Berkali-kali ia meminta maaf tapi mulutku tetap bergeming. Aku tak bisa membendung air mataku. “Aku antar kamu pulang ya, Bi,” suaranya gemetar, ada nada penyesalan dari lelaki itu. Ia mencoba meraih tanganku, namun langsung aku tepis.

Aku bergegas meninggalkan lelaki sialan itu. Keparat! Tak tahu malu! Makiku untuk diriku sendiri. Sambil menunggu ojek online tangisku tetap setia menemani. Tak peduli meskipun ada banyak pasang mata yang menatapku heran. Sekeras hati kuteguhkan diri, menganggap tak terjadi apa-apa dengan hari ini, namun potongan-potongan kejadian itu masih menusuk ingatanku. Aku gagal membendung air mata untuk tidak turun lebih deras.
Mengapa Tuhan tak menyuruh Izrail untuk mengambil paksa nyawaku saja?

Mba, helm-nya.” Suara bapak ojek online mengaburkan lamunanku. Dahi bapak itu tiba-tiba mengkerut kala melihat mataku memerah. “Kenapa, Mba? Habis menangis, ya? matanya mendelik pertanda penasaran mengapa mataku memerah dan maskerku basah. “Nggak, Pak,” jawabku singkat, lalu aku langsung menaiki motornya. Tak ingin lama-lama berada di sana.

Selama di perjalanan aku masih tetap menangis. Entah berapa kali pertanyaan bapak ojek online yang aku abaikan. Aku tidak mendengarnya, aku terfokus pada lukaku yang baru saja terkorek kembali. Satu tahun aku menahannya. Satu tahun pula aku tidak pernah melakukannya lagi. Dan kali ini aku kembali menjadi perempuan keparat. Aku membiarkan sisi burukku yang jahat itu hidup kembali, setelah lama kukubur paksa.

Aku mendongak ke langit. Dengan lirih kuutaran maafku kepada semesta, “Maaf, hijrahku palsu, Tuhan.” Sesaat kemudian tangisku pecah sejadi-jadinya.
Perlahan namun pasti, Allah tengah melindungiku. Mencoba menjauhkanku dari orang-orang yang tak baik. Pun Allah tengah berusaha menyadarkanku, bahwa apa yang pernah kuperbuat itu salah. Allah ingin aku menjauhi itu semua. Terlebih hal-hal yang membikin dosaku semakin menjulang tinggi.

Sungguh, aku teramat menyesali. Mengapa bisa-bisanya aku nampak bodoh dan tak bisa menjaga diri. Aku marah. Benci. Sesak di dada makin menyergap kala ingatan-ingatan itu kembali menyeruak ke permukaan. Memaksaku untuk terus mengingatnya.

Aku tahu, hidup itu ke depan. Tak seharusnya aku menangisi perangaiku yang buruk di masa lalu. Seburuk apa pun masa lalu yang kupunya, aku tak akan pernah bisa merubahnya. Masa depanlah yang harus aku rubah. Kemudian, aku tata kembali niat hijrahku yang kemarin sempat rusak. Percayalah, aku ingin memperbaikinya. Aku tak ingin lagi kilatan-kilatan masa lalu itu terus menerorku. Membuat hidupku gelisah. Lalu, menghantarkanku ke gerbang penyesalan yang tak berkesudahan.

Aku ingin berubah. Aku ingin hidupku cerah dan dipenuhi banyak warna. Bukan lagi warna hitam pekat yang penuh dijejali dosa. Atau warna abu-abu yang membuat hidupku semakin kelabu.
Aku merasa diriku seperti memiliki kepribadian ganda. Di satu waktu aku akan menampilkan sisi diriku yang baik. Aku akan bersikap menjadi perempuan lembut, rajin pergi ke majelis ilmu, ataupun rajin menasehati teman-temanku. Namun di satu waktu yang lainnya, aku akan menampilkan sisi evil-ku. Kadang di lain waktu, aku kerap mengabaikan perintah-Nya. Hawa nafsu yang menguasai diriku merubah diriku menjadi perempuan bejat nan keparat.

Aku pernah berjanji untuk tidak menjalin cinta dengan lelaki, tetapi janji itu hanya menjadi bualan belaka. Aku memang tidak lagi pacaran, namun aku masih suka memberikan perhatian kepada lelaki yang aku cinta. Aku masih suka jalan berdua dengan dia. Padahal waktu itu aku memutuskan untuk hijrah. Penampilan pun kurubah. Baju ketat yang dulu sering kupakai, tak lagi kukenakan. Bahkan, sesekali kujulurkan kerudungku hingga menutupi dada. Aku keliru. Hanya sebatas penampilanku saja yang berubah. Kuliatas ibadah? Makin buruk dan berantakan.

Maaf, hijrahku palsu. Sekalipun media sosialku banyak dibanjiri perihal agama, nyatanya ilmuku masih segitu-segitu saja. Tak bertambah satu ilmu pun yang kudapat.

Katanya, perempuan itu harus bisa menjaga pandangan. Tak boleh memperlihatkan auratnya sembarangan.  Katanya, perempuan itu harus bisa menjaga diri. Tak boleh secuil kulit pun yang boleh disentuhi lelaki. Katanya, perempuan itu perhiasan dunia. Perhiasan yang lebih mahal harganya daripada intan dan permata. Katanya lagi, perempuan itu – yang sholehah tentunya – jauh lebih maharatu daripada bidadari surga. Masih katanya, perempuan itu tak boleh mesra-mesraan dengan lelaki yang bukan muhrimnya.

Jika apa yang katanya itu benar, demi Tuhan, perempuan itu bukan aku orangnya. Aku berani bertaruh, tak banyak perempuan yang bisa seperti itu. Dunia dan segala pernak-perniknya teramat jahat menggodai. Apalagi bangsa setan, ia tak akan pernah berhenti menyengsarakan manusia sebelum manusia itu tersungkur ke jurang neraka.
Manusia macam Adam dan Hawa saja tertipu, apalagi macam aku? Apakah aku masih layak disamakan dengan permata? Ataukah perangaiku jauh lebih busuk daripada sampah? 
Pertanyaan-pertanyaan itu menari-nari di kepalaku. Aku semakin sedih dibuatnya.

Aku minta maaf atas hijrahku yang sempat kunodai. Barangkali, satu hari yang lalu hijrahku masih palsu. Tapi, hari ini, semoga Tuhan Seluruh Alam senantiasa memberikan hidayah ke celah hatiku yang mulai menghitam.

Sekali lagi aku minta maaf atas hijrahku yang palsu.

Bianka.







Comments

Popular posts from this blog

Sehari Seribu Sholawat

Sehari Seribu Sholawat Bismillaahir Rahmaanir Rahiim... Kamu tahu apa manfaat dari mengamalkan sholawat setiap hari? Jawabannya, manfaat sholawat banyak banget. Banget! Nggak kehitung, deh, seberapa banyak kemudahan yang bakalan kita dapat setelah mengamalkan sholawat. Cuma dengan sholawat, Insyaa Allah, kita bisa mendapatkan apa aja yang kita butuh. Percaya? Oke, nggak apa-apa kalau kamu nggak percaya. Tapi ini beneran! Aku nggak ngibul. Sumpah. Aku akan tulis tentang pengalamanku setelah mengamalkan seribu sholawat setiap hari sesuai dengan apa yang terjadi waktu itu, meskipun tidak terlalu detail, tapi itulah intinya. Aku tulis cerita ini, bukan maksud aku ingin dianggap sok suci, sok alim, atau pun riya karena ingin dipuji. Bukan, sama sekali bukan. Demi Allah, aku hanya ingin berbagi pengalaman yang sudah aku dan teman-temanku rasain selama di Lampung berkat ngamalin sehari seribu sholawat. Aku hanya ingin kamu yang membaca tul

Tak Semanis Nasib Anak Tetangga

Tak Semanis Nasib Anak Tetangga Source: Pinterest AKULAH Anindya, terlahir untuk diremeh-temehkan. Mungkin kau tak percaya atau bahkan tertawa kecil sambil berujar mana mungkin ada orang yang bernasib sedemikian buruk. Barangkali kau sudah mendengar cerita tentang diriku dari para petualang di penjuru negeri sehingga mendapat gambaran yang amat keliru tentangku. Aku lahir dengan nama kecil Anin. Bapak ku hanya seorang buruh pabrik biasa. Tak berdasi, apalagi punya banyak materi di sana-sini. Ibuku, Nunik, pun sama, sehari-hari kesibukannya hanya mengurusi dapur dan sumur. Namun, setelah menjelang Ma gh rib pekerjaannya bertambah satu:  mengajar anak-anak mengaji di surau dekat rumahku tinggal. Begitulah kiranya keadaanku. Aku bukan anak perempuan yang terlahir dari keluarga berada. Aku lahir di Magelang , tapi besar di Tangerang. Ibuku kelahiran Jawa, setelah ia memutuskan menikah dengan Bapak. Ibu langsung diboyong ke Tangerang untuk menetap di sana. Namun, sebulan

Nikmat Sholawat: Diutamakan Saat Kiamat

Tahun 2017 lalu, aku pernah mengulas sedikit pengalaman tentang mengamalkan shalawat bersama teman-temanku. Niat awal hanya ingin mengabadikan perjalanan yang sederhana dan penuh makna. Tetapi di luar dugaan alhamdulillah tulisanku diterima banyak orang, bahkan ada yang termotivasi   untuk ikut mengamalkan sehari seribu shalawat. Selain yang pernah kutuliskan sebelumnya, sebetulnya sampai sekarang pun banyak keajaiban-keajaiban kecil yang aku dapat berkat fadhilah mengamalkan shalawat. Misalnya sebulan yang lalu aku sempat mengalami kesulitan perekonomian. Uang tabungan sudah defisit untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran yang tak terduga. Apalagi ketika musim nikahan di sana-sini, bayar arisan yang selalu nombokin, ongkos magang yang over budgeting , itu cukup membikin kepalaku mumet tak keruan. Ditambah uang saku yang diberikan ibu tidak seberapa dan kadang masing kurang. Sedihnya aku sampai harus jual kedua cincinku supaya bisa bayar arisan setiap minggunya. Samp