Skip to main content

Jangan Menjadi Seseorang yang Ambisius dan Egois

JANGAN MENJADI SESEORANG YANG AMBISIUS DAN EGOIS

Sabtu malam adalah hari di mana gue merasa hidup gue berada di posisi terburuk selama 20 tahun gue berpijak di muka bumi. Gue nggak pernah ngira kalau proses gue menuju dewasa ternyata sesusah ini. Rentetan masalah demi masalah saling sambung menyambung. Nggak ada matinya masalah datang mempersulit hidup gue. Siapa yang bakal ngira di tahun 2017 ini kali keduanya gue mengalami kehilangan ponsel.

Menurut gue ini masalah berat, apalagi ditambah keadaan perekonomian gue yang serba pas-pasan. Kenyataannya, untuk bisa beli ponsel baru gue harus bersusah payah ngumpulin uang dulu, nggak bisa gue nodongin tangan dan minta langsung ke orangtua gue. Karena gue tahu mereka nggak akan mampu beliin gue barang mahal. Mereka punya kebutuhan lain yang lebih penting daripada cuma membelikan apa pun yang gue mau. Dan gue pun teramat malu kalau selalu berpangku tangan kepada mereka.

Dari kecil, gue memang tidak pernah dibiasakan untuk dimanjakan, sekalipun gue anak terakhir dan stigma orang-orang mengenai anak terakhir identik dengan manja, nggak bisa mandiri, apa-apa selalu dibelikan oleh orangtuanya, itu semua nggak berlaku buat gue. Faktanya, gue nggak pernah dimanjakan, gue harus bersusah payah dulu mengumpulkan uang supaya bisa beli apa-apa yang gue butuhkan. Memberi jauh lebih baik daripada meminta, kan? Ya, meskipun gue belum bisa memberi orangtua gue sesuatu yang mereka mau, tapi sebisa mungkin gue nggak selalu meminta kepada mereka.

Terkadang, keadaan gue yang bukan terlahir dari orangtua berada telah menarik diri gue menjadi seseorang yang ambisius dan egois. Gue selalu pengin sama apa yang orang lain punya. Bahkan gue pernah merasa iri sama teman-teman gue yang dengan mudahnya mereka pergi nonton setiap hari Minggu, setiap liburan pergi ke sana ke mari, setiap bulan selalu beli baju baru, sepatu baru, tas baru, dan apa-apa selalu beli baru. Sedangkan gue? Untuk sekadar beli buku aja gue harus menyisihkan uang jajan gue dulu, dan itupun harus dengan sabar menunggu sampai berminggu-minggu.

Gue tahu, nggak semestinya gue merasa terpuruk seperti ini. Nggak seharusnya gue memandang hidup dari segi enaknya aja. Masalah gue nggak seberapa. Di luar sana masih banyak orang-orang yang hidupnya lebih sulit daripada gue. Di luar sana masih banyak orang-orang yang hidupnya nggak seberuntung gue. Gue seharusnya memandang dunia dari kacamata orang susah, supaya gue nggak gampang berkeluh kesah.

Rentetan masalah nggak cuma kehilangan ponsel aja, hari ke hari, gue merasa beban hidup gue makin bertambah. Entahlah apa yang membuat gue menjadi demikian, barangkali gue terlalu jauh dengan Tuhan, atau mungkin gue nggak pernah bersyukur. Jadi, apa pun yang gue miliki saat ini, gue selalu merasa kurang dan ingin mendapatkan lebih.

Sekarang gue tahu gimana rasanya lelah bekerja, gimana rasanya waktu tidur cuma sedikit, mungkin kalau gue nggak ngerasain ini semua, gue nggak akan tahu gimana rasanya jadi Bapak. Setiap pagi berangkat kerja, dan di menjelang senja baru ada di rumah. Tapi, nggak pernah sekalipun gue menemukan Bapak mengeluh lelah. Justru seulas senyum selalu merekah di air wajahnya.

Gue malu, di usia gue yang bukan remaja lagi, tapi sikap dan pemikiran gue masih kekanak-kanakkan, nggak bisa mengontrol diri, apalagi menahan emosi. Di rumah, kala gue sedang capek-capeknya gue selalu merutuki diri, “kenapa nasib gue gini amat”, “kenapa, sih, hidup gue nggak kayak teman-teman gue yang lainnya”. Namun, dengan semakin sering gue merutuki nasib, masalah gue nggak akan pernah selesai.

Akhirnya, gue mencoba untuk lebih sabar dalam menjalani hidup. Lebih ikhlas untuk nerima apa pun yang nggak sesuai dengan keinginan, kalaupun nanti apa yang gue mau nggak pernah terwujud, gue akan mecoba untuk pasrah dan lillah.

Esok harinya – hari Senin kalau nggak salah – semesta seolah mengajarkan gue untuk belajar bersyukur. Sebelum gue berangkat ke kantor untuk magang, gue melihat seorang bapak paruh baya sedang terduduk sambil makan nasi uduk pemberian orang di stasiun, kondisi matanya tak seberuntung gue, bapak paruh baya itu buta dan hanya mengandalkan belas kasih orang untuk menyambung hidup.

Sore harinya – masih di hari Senin – sepulang dari kantor, gue kembali di pertemukan dengan pemuda yang kondisinya nggak seberuntung gue. Kaki dan tangannya cacat. Dan lagi-lagi, pemuda itu pun mengandalkan belas kasih orang lain untuk menyambung hidup, karena keadaan kakinya yang teramat memprihatinkan.

Itu semua nggak berhenti sampai di situ aja. Saat gue naik kereta, gue kembali dipertemukan dengan bapak paruh baya yang fisiknya juga tidak normal dan tidak seberuntung gue, dia buta. Untuk berjalan pun dia harus menggunakan tongkat. Dia bersama anaknya yang menemaninya mengamen.

Seketika hati gue terenyuh, nggak biasanya satu hari penuh gue bertemu dengan orang-orang yang kondisi fisiknya seperti itu.

Gue sedih. Ada air mata yang luruh jatuh. Gue nggak habis pikir, kenapa selama ini gue nggak pernah bersyukur, kenapa gue selalu melihat ke atas, padahal keadaan orang lain ada pula yang bernasib lebih buruk daripada gue. Dari segi fisik, gue pun harusnya lebih bersyukur, karena gue diberikan fisik yang normal dan gak cacat. Sayangnya, gue teramat kufur dan lupa dengan semua nikmat yang telah diberikan Tuhan.

Teman-teman, gue mohon kalian jangan seperti gue yang susah untuk bersyukur, ya. Jangan seperti gue yang selalu ngeluh dan merutuki hidup. Kebahagiaan nggak bisa didapat kalau kita terus mengejar materi, tapi lebih dari itu, kebahagiaan bisa kita dapatkan kalau kita pandai bersyukur. Gue mohon, jangan selalu melihat ke atas. Ada waktunya kita juga harus melihat kondisi di bawah kita. Percayalah, di luar sana, ada banyak yang masalah hidupnya jauh lebih berat daripada kita. Di luar sana, ada banyak yang kondisi fisiknya nggak seberuntung kita. Jadi, stop body shaming, ya. Tuhan menciptakan kita bukan untuk merendahkan orang-orang yang kamu anggap fisiknya lebih jelek daripada kamu.

Gue cuma nggak mau aja, kalian nyaris sama seperti gue. Gue pun merasa semakin kosong dan selalu gelisah. Itu semua tersebab gue nggak pernah melibatkan Tuhan dalam setiap urusan.

Semoga dengan adanya tulisan ini, aku, kau dan kita jadi lebih pandai bersyukur, jadi lebih legowo dalam mengahadapi setiap masalah hidup. Serumit apa pun masalah kita, libatkan Tuhan. Aku pun akan bertindak demikian. Aku mohon, ya, teman. 

Comments

Popular posts from this blog

Sehari Seribu Sholawat

Sehari Seribu Sholawat Bismillaahir Rahmaanir Rahiim... Kamu tahu apa manfaat dari mengamalkan sholawat setiap hari? Jawabannya, manfaat sholawat banyak banget. Banget! Nggak kehitung, deh, seberapa banyak kemudahan yang bakalan kita dapat setelah mengamalkan sholawat. Cuma dengan sholawat, Insyaa Allah, kita bisa mendapatkan apa aja yang kita butuh. Percaya? Oke, nggak apa-apa kalau kamu nggak percaya. Tapi ini beneran! Aku nggak ngibul. Sumpah. Aku akan tulis tentang pengalamanku setelah mengamalkan seribu sholawat setiap hari sesuai dengan apa yang terjadi waktu itu, meskipun tidak terlalu detail, tapi itulah intinya. Aku tulis cerita ini, bukan maksud aku ingin dianggap sok suci, sok alim, atau pun riya karena ingin dipuji. Bukan, sama sekali bukan. Demi Allah, aku hanya ingin berbagi pengalaman yang sudah aku dan teman-temanku rasain selama di Lampung berkat ngamalin sehari seribu sholawat. Aku hanya ingin kamu yang membaca tul

Tak Semanis Nasib Anak Tetangga

Tak Semanis Nasib Anak Tetangga Source: Pinterest AKULAH Anindya, terlahir untuk diremeh-temehkan. Mungkin kau tak percaya atau bahkan tertawa kecil sambil berujar mana mungkin ada orang yang bernasib sedemikian buruk. Barangkali kau sudah mendengar cerita tentang diriku dari para petualang di penjuru negeri sehingga mendapat gambaran yang amat keliru tentangku. Aku lahir dengan nama kecil Anin. Bapak ku hanya seorang buruh pabrik biasa. Tak berdasi, apalagi punya banyak materi di sana-sini. Ibuku, Nunik, pun sama, sehari-hari kesibukannya hanya mengurusi dapur dan sumur. Namun, setelah menjelang Ma gh rib pekerjaannya bertambah satu:  mengajar anak-anak mengaji di surau dekat rumahku tinggal. Begitulah kiranya keadaanku. Aku bukan anak perempuan yang terlahir dari keluarga berada. Aku lahir di Magelang , tapi besar di Tangerang. Ibuku kelahiran Jawa, setelah ia memutuskan menikah dengan Bapak. Ibu langsung diboyong ke Tangerang untuk menetap di sana. Namun, sebulan

Nikmat Sholawat: Diutamakan Saat Kiamat

Tahun 2017 lalu, aku pernah mengulas sedikit pengalaman tentang mengamalkan shalawat bersama teman-temanku. Niat awal hanya ingin mengabadikan perjalanan yang sederhana dan penuh makna. Tetapi di luar dugaan alhamdulillah tulisanku diterima banyak orang, bahkan ada yang termotivasi   untuk ikut mengamalkan sehari seribu shalawat. Selain yang pernah kutuliskan sebelumnya, sebetulnya sampai sekarang pun banyak keajaiban-keajaiban kecil yang aku dapat berkat fadhilah mengamalkan shalawat. Misalnya sebulan yang lalu aku sempat mengalami kesulitan perekonomian. Uang tabungan sudah defisit untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran yang tak terduga. Apalagi ketika musim nikahan di sana-sini, bayar arisan yang selalu nombokin, ongkos magang yang over budgeting , itu cukup membikin kepalaku mumet tak keruan. Ditambah uang saku yang diberikan ibu tidak seberapa dan kadang masing kurang. Sedihnya aku sampai harus jual kedua cincinku supaya bisa bayar arisan setiap minggunya. Samp