Skip to main content

Tak Semanis Nasib Anak Tetangga

Tak Semanis Nasib Anak Tetangga


Source: Pinterest

AKULAH Anindya, terlahir untuk diremeh-temehkan. Mungkin kau tak percaya atau bahkan tertawa kecil sambil berujar mana mungkin ada orang yang bernasib sedemikian buruk. Barangkali kau sudah mendengar cerita tentang diriku dari para petualang di penjuru negeri sehingga mendapat gambaran yang amat keliru tentangku.

Aku lahir dengan nama kecil Anin. Bapakku hanya seorang buruh pabrik biasa. Tak berdasi, apalagi punya banyak materi di sana-sini. Ibuku, Nunik, pun sama, sehari-hari kesibukannya hanya mengurusi dapur dan sumur. Namun, setelah menjelang Maghrib pekerjaannya bertambah satu: mengajar anak-anak mengaji di surau dekat rumahku tinggal.

Begitulah kiranya keadaanku. Aku bukan anak perempuan yang terlahir dari keluarga berada. Aku lahir di Magelang, tapi besar di Tangerang. Ibuku kelahiran Jawa, setelah ia memutuskan menikah dengan Bapak. Ibu langsung diboyong ke Tangerang untuk menetap di sana. Namun, sebulan sebelum aku lahir, Ibu merajuk kepada Bapak untuk pulang kampung ke tanah kelahirannya, Magelang. Meskipun hanya sebentar, kata Ibu tak apa, itu cukup melunturkan rasa kangen yang sudah lama merongrong hatinya.

Sebenarnya Bapak sempat cemas. Khawatir dengan kondisi kehamilan Ibu yang sudah tua. Takut-takut kalau Ibu melahirkan di jalan. Ibuku itu keras kepala, ia tetap merajuk untuk menyambangi keluarganya di Magelang. Ya, sudah Bapak pun menuruti keinginan Ibu. Saat itu, perkiraan Bidan yang memeriksa kandungan Ibu ternyata melesat. Katanya, di akhir Mei tahun 1997 aku akan lahir ke dunia. Nyatanya salah, justru aku berojol di tanggal 11 Mei 1997. Dua minggu lebih awal dari perkiraan si bidan.

Aku menulis cerita ini bukan sepenuhnya tetang ibuku. Tetapi keresahan yang aku alami selama 3 tahun terakhir, berawal dari ketidakcocokan antara keinginanku dengan keinginan Ibu. Soal Bapak, ia selalu membebaskanku. Tak ada tuntutan apa pun dari Bapak. Itu yang membikin aku suka darinya. Terserah aku mau jadi apa, selama aku tidak meninggalkan salat dan berpegang teguh pada Aqidah, Bapak tetap mendukungku.

Keluargaku lumayan taat ibadahnya. Bapak lah yang selalu menggembor-gembor warga sekampung untuk mengikuti pengajian di setiap malam Jumat. Ibu juga sama, ibu-ibu yang ada di kampungku selalu rajin diajak mengaji setiap hari Rabu dan Sabtu. Pernah dulu, sewaktu aku sedang malas-malasnya pergi ke surau untuk mengaji, Bapak melayangkan sebilah rotan untuk menyabet betisku. Semenjak kejadian itu, aku jadi rajin pergi ke surau. Karena itu pula, aku jadi hafal Yassin di usiaku yang baru genap 6 tahun.

Abangku juga pernah jadi bualan kemarahan Bapak. Itu karena Andi, abangku nomor 4 – yang usianya hanya terpaut 2 tahun denganku –  tak mau salat lima waktu. Dia malah asyik main Mario Bross dari pagi sampai ke menjelang Ashar. Berhenti bermain hanya untuk makan dan ke kamar mandi, selebihnya dia kembali bertengger di depan nine tendo-nya.

Setelah Bapak tahu Andi tidak salat Subuh dan Zuhur dari ibuku, Bapak langsung bilang, Lebih baik kukasih makan Anjing, daripada kasih makan anak yang tidak mau salat!” seketika itu pula, abangku langsung berhenti bermain dan minggat dari rumah. Setahuku, sejauh-jauhnya abangku minggat, paling-paling dia hanya minggat ke pos ronda yang letaknya tak begitu jauh dari rumah.

Bila kau ingin lebih mengenal bagaimana kehidupanku, kuberi tahu tak ada yang menarik dari segi apa pun. Fisik? Entahlah, aku sendiri cukup murung dengan kondisi fisikku. Aku tak memiliki postur tubuh yang ideal macam teman-teman sebayaku.

Tinggi badanku misalnya, kalau aku tak salah mengira-ngira, kurang dari angka 150 sentimeter, lah. Hal itu cukup membikin orang-orang jadi suka mengejek fisikku. Pendek, katanya. Ditambah, kulitku agak gelap, segelap mimpiku, mungkin. Padahal, sudah kuhabiskan berbotol-botol lotion pencerah kulit, yang katanya bisa membuat kulitku putih dalam kurun waktu 2 minggu. Aku rasa, iklan-iklan di Televisi itu hanya ingin menipuku belaka. Pupus sudah harapanku untuk memiliki kulit putih berseri.

Tak hanya itu, badanku yang sedikit gempal, nyaris menyempurnakan fisikku yang tidak ada bagus-bagusnya. Apalagi yang ingin kau ketahui? Sudah kubilang di awal, tidak ada hal yang menarik dari segi apa pun. Apa pun. Mengingat cerita ini tidak dimaksudkan berkisah tentang kondisi fisikku, bagian ini cukup sampai di sini saja.
***
NUNIK, ibuku itu sangat suka dengan namaku. Anindya, yang artinya dalam Bahasa Jawa berarti perempuan sempurna, dan tidak bersalah. Barangkali alasan Ibu memberikan nama itu, terlepas dari artinya yang bagus, mungkin dia ingin aku tumbuh menjadi perempuan sempurna yang tidak pernah melakukan kesalahan.

Tapi, mana ada, sih, manusia di muka bumi ini yang tidak pernah melakukan kesalahan. Ada-ada saja si ibu, pikirku waktu itu. Namun kau tahu? Setelah umurku genap 20 tahun, aku nyaris selalu disalahkan dan diremeh-temehkan oleh orang-orang terdekatku. Tak terkecuali Ibu, dialah yang paling sering menyudutkanku.

Aku tahu, aku tahu. Kau pasti tidak akan percaya, kan? Tidak ada satu pun orangtua yang senang melihat permatanya susah. Justru orangtua selalu berusaha melakukan yang terbaik demi anak-anak yang dicintainya, tapi tidak dengan ibuku. Ibu lebih senang membanggakan anak tetangga daripada aku. Anak kandungnya sendiri.

Aku juga tahu. Kau pasti akan berpikiran bahwa aku nampak seperti Malin Kundang yang durhaka terhadap orangtua, kan?  Atau mungkin kau akan menganggap kalau ini hanya bualanku saja. Namun, percayalah, sungguh, ibuku memang demikian adanya. Terkadang aku sedih dibuatnya. Sebenarnya, yang anak kandungnya, aku atau anak tetangga sialan itu?

Aku berbicara seperti itu bukan tanpa alasan yang jelas. Sejatinya, aku betul-betul ingin menganggap Ibu memang menghargai keinginanku, tapi nyatanya tidak. Ibu ingin aku menjadi seperti ini, sedangkan aku maunya seperti itu. Pernah dulu aku bertengkar hebat dengan Ibu, saat itu aku masih berusia 15 tahun. Lebih tepatnya kejadiaan itu terjadi ketika aku baru lulus SMP.

Sembilan tahun aku menuntut ilmu di sekolah yang lokasinya lumayan dekat dengan rumahku. Saat hendak masuk SMA, aku meminta Ibu untuk memasukkanku ke SMA yang lokasinya jauh. Aku tak ingin lagi masuk ke sekolah yang jaraknya hanya ratusan meter dari kediamanku. Bosan, kataku.
            “Kamu ini perempuan! Tidak ada sejarahnya anak Ibu yang sekolah jauh-jauh!
Aku masih ingat betul, bagaimana Ibu mengatakan hal itu kepadaku. Suaranya meninggi satu oktav. Sambil berkacak pinggang, mata bulatnya hampir saja ikut melompat keluar. Tak bisa kubayangkan, itu cukup membikin bulu kudukku merinding. Seram. Ibuku memang demikian, kalau-kalau ada hal yang tak disukainya ia langsung marah-marah tidak jelas. Mungkin Ibu kira sedang di hutan belantara, tak ada kuping-kuping nakal yang mendengarkan suaranya yang cempreng itu.  
          “Maka dari itu aku ingin menorehkan sejarah. Sekarang!” kataku akhirnya dengan nada penuh penekanan.
            “Masuk SMA di sekolah yang sudah Ibu pilihkan, atau kamu tak usah sekolah!”

Waktu itu, ada Bapak yang sedang menyesap kopi kesukaannya di depan Televisi sambil menonton berita tentang penjabat keparat yang lagi-lagi terciduk melakukan korupsi. Kalau sudah melihat tontonan berita, Bapak memang tak bisa diganggu gugat sedikitpun. Sekalipun waktu itu ada aku dan Ibu yang sedang cek-cok adu mulut, Bapak malah mengereskan volume-nya. Jahat betul bapakku itu, bukannya menolong anaknya dari jeratan kemarahan Ibu, Bapak malah asyik menontoni penjabat yang perangainya jauh lebih busuk daripada sampah.

Aku hanya membantingkan pintu sekeras yang aku mau. Bisa-bisanya Ibu memberikan pilihan seperti itu. Aku bisa apa? Lebih keras menentang kemauannya? Ah tidak, aku tak ingin Tuhan menjewer kupingku karena aku terlalu nakal. Lebih baik aku diam menuruti kemauan Ibu, daripada aku menuruti ego yang akhirnya akan menyakiti perasaannya. Anggap saja, ini sebagian kecil caraku membahagiakan Ibu. Urusan kebahagiaanku, biarlah itu jadi soal belakangan. Kebahagiaan akan mengikutiku, seiring Ibu juga bahagia karena aku. Mulia betul aku ini.

Jangan tertawa! Suasana hatiku sedang kacau-kacaunya. Kau ingin jadi bualan kemaharanku? Tidak ingin, kan? Ya, sudah diam dan dengarkan kelanjutan ceritaku. Maaf jika aku terkesan memaksa. Tapi, jika bukan kepada kau aku bercerita, kepada siapa lagi? Ibu? Halah, Ibu pasti enggan mendengarkan rutukanku.

Maklumlah aku memang anak perempuan satu-satunya di rumah ini. Aku anak terakhir dari lima bersaudara, empat di antaranya anak laki-laki. Notabene-nya abang-abangku itu semuanya masuk sekolah kejuruan (SMK). Ditambah, sekolah abangku itu tak jauh-jauh amat dari rumah. Jadi, ketika aku meminta sekolah di daerah Jakarta, ibuku langsung terang-terangan menolaknya. Terlebih sikap abangku, sesaat setelah ia mengetahui keinginanku, dengan gencar-gencarnya ia selalu memengaruhi Ibu untuk tidak memberikan izin.

Waktu itu aku sedang ngambek di kamar. Tapi, hasutan abangku yang mirip setan itu cukup terdengar meskipun pintu tertutup. Dia mengeluarkan propaganda yang membikin mukaku merah padam. Bagaimana aku tak marah, ia dengan lancangnya berbicara seperti ini kepada Ibu, "Perempuan itu urusannya cuma di dapur. Biar apa si adek sekolah jauh-jauh kalau ujungnya cuma jadi pegawai pabrik. Paling-paling dia cuma ingin bebas, selepas itu dia berubah jadi perempuan binal kalau tak terkontrol pergaulannya oleh kita, keluarganya. Kalau kata aku, sih, tak usahlah Ibu kasih dia izin. Biar saja si adek sekolah di sini.”

Itu abangku nomor satu yang berbicara. Lebih pedas lagi abangku nomor tiga. Tak tanggung-tanggung ia pun ikut-ikutan menghasut Ibu, “Kawinkan saja si Anin kalau tak mau nurut dengan Ibu. Anak satu itu makin hari makin susah diatur. Kemauannya makin nyeleneh. Tahu sendiri, Bu, bagaimana kondisi pergaulan anak Kota. Gaya pacarannya pan keterlaluan. Khawatir terbawa arus negatif.”
            Baiklah, perang dingin dimulai!

Di kamar, aku hanya bisa menangis. Apakah anak terakhir harus sedemikian buruk nasibnya? Apakah anak terakhir tak boleh bersuara untuk menentukan pilihannya? Apakah anak perempuan tak boleh pergi ke mana-mana? Mentang-mentang aku anak terakhir dan perempuan satu-satunya, aku sering dibeda-bedakan. Uang jajan pun aku yang paling kecil nominalnya. Berkali-kali protes dan meminta uang jajanku dinaikkan, tapi Bapak tetap menolaknya. Kata Bapak, kedudukan lelaki lebih tinggi dari perempuan. Adil itu bukan harus sama rata, kata bapakku lagi.

Menurutku, baik Ibu maupun Bapak, mereka kerap membeda-bedakanku. Dari segi makanan misalnya. Kalau abangku belum pulang bekerja, ia selalu disediakan makanan oleh Ibu. Sesaat aku ingin makan selepas pulang sekolah, di meja makan hanya ada satu paha ayam, dan sayur toge yang tinggal semangkuk. Baru aku ingin mencomotnya, ibuku langsung bilang kalau makanan itu disisakan untuk Wawan, abangku yang nomor 1. Sedangkan aku? Hanya disediakan satu telur ayam yang harus kugoreng sendiri. Sial betul bukan nasibku ini?

Itu adalah awal mula keinginanku yang tidak didengarkan oleh mereka. Aku ada, tapi seperti tiada. Abang-abangku itu, aku akui mereka memiliki kecerdesan yang lumayan patut diacungkan jempol. Mereka selalu jadi juara di kelasnya. Bahkan, abangku yang nomor 2 sewaktu dia masih sekolah, pernah mendapatkan beasiswa dari sekolahnya. Kata orang-orang, dia pintar dalam bidang olahraga, terlebih sepak bola, berkat keikutsertaannya sekolah selalu menyandang juara 1 di setiap perlombaan yang diikuti. Berlebihan, kataku. Paling-paling lawan mainnya saja yang seperti ayam, gampang untuk dikalahkan.

Di antara aku dan abang-abangku, hanya aku yang terkesan selalu dibeda-bedakan. Dari segi apa pun, nasibku yang paling buruk. Mengingat cerita ini tidak dimaksudkan berkisah tentang keluargaku, bagian ini cukup sampai di sini saja.
***
KAU tahu bagaimana rasanya saat orangtua selalu membedakanmu dengan anak tetangga? Ditambah orang-orang di sekitarmu hanya melihat hasil daripada proses? Rasanya tak beda jauhlah seperti  pendukung Persija saling adu jotos dengan pendukung Persib. Sakit. Hatimu akan babak belur dibuatnya.

Sekiranya itu lah yang aku rasakan sekarang. Mimpiku hancur berserakan. Bagaimana tidak, mimpiku selalu disamakan dengan mimpi anak tetangga. Prestasiku pun demikian, selalu dibanding-bandingkan dengan orang lain. Itu adalah kebiasaan ibuku. Kebiasaan ibu yang selalu meremeh-temehkan keinginanku. Aku nampak seperti benalu yang tidak membawa kebermanfaatan. Kata seseorang menyindirku.

Sewaktu aku memasuki semester 3 perkuliahan, ibuku selalu menanyai mengapa aku tak kunjung mendapatkan beasiswa. Padahal tetanggaku – Harry namanya – yang satu kampus, bahkan satu fakultas, sudah mendapatkan beasiswa, perkuliahannya pun sudah ditanggung sampai ia lulus. Kenapa aku tidak bisa seperti anak tetanga itu? tanya ibuku sambil terus memasak di dapur.

Aku yang sedang makan mi goreng langsung dibuat tersedak mendengar omongan Ibu. Belum sempat aku jawab, Ibu justru membrondongiku dengan pertanyaan yang lain. Katanya enak betul kalau jadi orangtua si anak tetangga itu. Tak usah repot-repot cari biaya kuliah, karena sudah bisa membiayai perkuliahannya sendiri. Katanya lagi, mengapa aku tidak mengambil jurusan yang sama, barangkali nasibku akan sama baiknya dengan si anak tetangga sialan itu. 

Padahal kalau Ibu tahu, aku sudah mati-matian mendaftarkan diri dan mengikuti serangkaian tes untuk bisa mendapatkan beasiswa. Sudah 3 kali aku gagal, 3 kali pula Ibu mengeluhkan hasil usahaku. Rasanya aku ingin bersedu-sedan di hadapan Ibu, mengeluhkan kenapa Ibu selalu mengeluhkan nasibku. Aku pun juga sama, Bu. Ingin dibanggakan seperti Ibu membanggakan anak tetangga itu.
            Sudah aku bilang di atas, akulah Anindya, terlahir untuk diremeh-temehkan. Bukan untuk dibangga-banggakan.

Setelah berhasil menandaskan sepiring mi goreng, Ibu menyuruhku pergi ke warung untuk membeli gula pasir. Dengan ogah-ogahan aku pergi ke warung Mak Iyoh. Bukan karena aku ogah disuruh Ibu, melainkan aku ogah mendengarkan ocehan Mak Iyoh – saudagar kaya yang selalu menganggap anaknya jauh lebih baik dari siapa pun. Maklumlah, ia salah satu orang terkaya di kampungku. Jadi, sifat dan omongannya terkadang melangit.
           “Anin, kamu tidak kuliah?” tanya Mak Iyoh selepas aku ingin membayar sekilo gula pasir.
           “Sedang libur.”
          “Kamu itu kuliah ambil jurusan apa?” tanyanya lagi sembari memasukkan gula yang kubeli ke dalam plastik hitam.
           “Ilmu Komunikasi, Mak.” kataku dengan senyum yang sediki kupaksakan.
         “Wah, kenapa tidak mengambil pendidikan? Enak nanti bisa jadi guru,” ujar Mak Iyoh. Lalu, romannya berubah serius. “Anak Emak juga sudah mengajar, tuh, di SD-nya dulu. Kalau ambil Ilmu Komunikasi nanti kamu tidak bisa menjadi guru, dong?”

Apa kataku bilang. Arah pembicaraannya pasti tidak jauh dari membandingkan anaknya denganku. Aku penasaran. Kenapa mereka itu senang betul menyamakanku dengan nasib orang lain. Apakah mimpiku harus sama dengan anak Mak Iyoh: menjadi guru dan mengajar di SD? Apakah Ibu akan lebih bangga jika yang menjadi anaknya itu Harry, bukan aku?

         “Aku bukan anakmu, Mak Iyoh,” kataku sebelum melanjutkan, “jadi, bukan menjadi guru yang aku mau.” Lalu, selepas menerima uang kembalian aku memilih hengkang dari warung Mak Iyoh.

Ada banyak orang yang seperti Mak Iyoh di kampungku. Bu Sarmi misalnya, setiap hari, ia senang betul menggosipi anaknya sendiri. Hampir setiap hari pula, Bu Sarmi tak pernah absen membanggakan anaknya – Sarah –  dihadapan ibuku. Katanya, baru-baru ini, Sarah berhasil dipilih menjadi leader di salah satu perusahaan yang ada di bilangan Jakarta Pusat. Gaji yang didapat, bisa mencapai 7 juta per bulan, itu yang membikin ibuku ngiler mendengarnya. Itu pula yang membikin ibuku membanding-bandingkan rezekiku dengan rezeki anak tetangga. Katanya, Ibu kepengin punya anak yang gajinya besar. Ingin kubungkam mulut Bu Sarmi itu, karena ulahnya, Ibu makin cerewet menyamai anak-anaknya dengan anak tetangga.
***
“KAMU sebenarnya kuliah atau apa, sih? Hampir setiap hari Ibu lihat kamu selalu pulang larut malam?” ujar Ibu saat mendapatiku baru tiba di rumah pukul sebelas malam. 

Setelah semenit termangu, mungkin kurang, aku akhirnya berkata, “Ada rapat di kampus. Organisasi yang tengah kuikuti sedang repot menyiapkan acara yang akan berlangsung pekan ini.”
        “Kamu ingin jadi apa memang? tanya ibuku lagi kemudian ia menyuruhku duduk di sampingnya. “Penulis, kalau Ibu ingin aku jadi apa?” Sebenarnya tanpa aku tanyakan pun aku sudah tahu jawaban Ibu. Hanya sekadar ingin berbasa-basi. Sekalipun ini basa-basi yang paling basi. Menurutku.
              “Guru! Ibu ingin kamu bisa mengajar. Ibu ingin kamu bisa bermanfaat buat orang. Ibu ingin kamu jadi – ”
            “Seperti anak tetangga yang selalu Ibu banggakan itu? Aku Anin, Bu. Anakmu. Aku punya mimpiku sendiri,” aku menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya melanjutkan, “Aku tahu, Ibu ingin aku jadi guru, kan? Jadi PNS supaya masa depanku bagus. Terlebih aku juga tahu, jika aku bekerja nanti, Ibu ingin gajiku bisa mencapai 7 juta per bulan seperti anaknya Bu Sarmi. Aku juga sama, Bu. Ingin dihargai. Ingin dibanggakan layaknya Ibu selalu membanggakan anak tetangga di depanku. Barangkali Ibu bingung, apa yang seharusnya Ibu banggakan dariku, karena memang tidak ada hal yang bisa Ibu banggakan. Setidaknya, berhentilah membandingkan nasibku dengan nasib orang lain. Bukankah aku tidak pernah terang-terangan membandingkan Ibu dengan ibu teman-temanku? Tapi, kenapa Ibu senang betul menyamaiku?” aku berhenti sejenak, menahan air mataku agar tidak turun seenaknya.

Lalu, untuk pertama kalinya aku melihat Ibu menangis. Keparat betul aku ini, belum bisa memberikan apa yang Ibu mau, aku justru membuatnya bersedih karena ucapanku yang lancang.
            “Sebelumnya aku minta maaf, Bu. Aku tidak bisa memberikan apa yang Ibu mau. Sekadar membiayai kuliahku saja aku tak mampu. Tapi, percayalah, Bu. Waktu itu, sekuat tenaga, aku sudah mati-matian untuk mencari beasiswa. Mungkin Ibu benar, aku tak sepintar Abang atau si Harry anak tetangga yang selalu Ibu banggakan itu. Sekali lagi, aku mohon. Aku ini Anin, anakmu. Aku punya caraku sendiri untuk membikin Ibu senang, sekalipun aku tahu, Ibu tak pernah senang dengan keinganku ini.” Sambil menunduk aku berujar kembali, “Doakan saja, Bu. Barangkali lima tahun ke depan nasibku jauh lebih manis daripada nasib anak tetangga yang selalu Ibu banggakan itu.”

Setelah semua kerisauanku terucap, aku beranjak meningalkan Ibu ke dapur. Menyeduh segelas kopi barangkali bisa menghilangkan rasa penat. 
***
AKU lelah dalam berjuang, di usia yang berbilang masih muda ini. Seketika aku ingat bagaimana orangtuaku dulu berjuang. Melangkahkan kaki dari rumah ke tempat kerjanya, tanpa melontarkan keluhan sedikit pun di depanku.

Cita-citaku dianggap terlalu tinggi, sampai-sampai mereka berdua tidak paham dengan apa yang aku citakan. Namun, mereka dengan tulus hati mendoakan; semoga apa yang aku cita-citakan itu tercapai. Meskipun Ibu selalu membandingkan nasibku dengan orang lain, tapi aku tahu, di setiap sujudnya ada namaku yang selalu ia sebut.

Sementara, aku sendiri ragu apakah bisa mencapai mimpiku atau tidak. Di tengah-tengah jalan yang penuh liku ini. Setiap hari aku harus berangkat kuliah di pagi hari, kereta yang padat, melawan kantuk, menerjang rasa malasku, berdiri berjam-jam dan sesekali pergi ke kantor untuk magang, kemudian pulang selepas isya dalam keadaan lelah.

Semua ini membuatku rindu pada rumah. Pada setiap butir nasi hangat yang Ibu ambilkan dari ricecooker. Pada mi rebus yang Ibu buatkan kalau aku sedang malas. Pada sayur tadi siang yang dihangatkan kembali. Aku rindu pada setiap kemudahan yang aku dapatkan ketika aku di rumah. Kesibukanku meraih cita-cita membuat waktuku bersama orangtuaku berkurang. Pagi hari sudah siap-siap ke kantor, malam hari setiba di rumah sudah kutemukan Ibu terlelap di ranjangnya.

Aku lelah di perjalanan ini. Perjalanan yang membuatku risau, apakah ini jalan yang benar atau bukan. Apakah aku akan menjalani jalan ini hingga akhir hayatku? Mencari mimpiku di sana? Dan juga jalan yang akan aku ceritakan dengan bangga ke anak-anakku nantinya.

Aku lelah dan lagi-lagi aku malu kepada Ibu. Aku tahu, betapa bangganya ia ketika bercerita kepada kerabat dan tetangga tentang anaknya yang berhasil masuk universitas, sekalipun sekali dua Ibu pernah tak senang dengan keinginanku, jauh di dasar hatinya ia tetap bangga kepadaku.

Aku malu bila aku hendak mengeluh lelah. Aku tahu, orangtuaku tak perlu tahu kerisauanku. Mereka hanya perlu mendengar kabar baik, agar hatinya tentram dan doanya tidak dipenuhi kekhawatiran, dan sesungguhnya itulah kesimpulannya. Aku tidak ingin mereka khawatir.
***
MIMPI-mimpi besarku yang lainnya juga memiliki cerita, tapi bukan di sini tempatnya.

Kalau kau masih sudi mendengarkan ceritaku, akan kulanjutkan segera. Namun bukan hari ini. Kopiku sudah habis kuminum. Di dapur, Ibu tak banyak menyediakan kopi, kau tahu, kan? Hambar rasanya bercerita tanpa menyeruput kopi. 

Aku sedikit berpesan, jagalah mimpimu dengan usaha yang baik. Langkahkan kakimu sampai mimpimu itu tercapai. Meskipun di persimpangan jalan ada orang yang mengatakan karyamu seperti sampah, tak apa, jangan berhenti berjalan. Aku juga akan bertindak demikian. Semoga di kemudian hari kau punya kesempatan mendengar kelanjutan ceritaku.


           








Comments

Popular posts from this blog

Sehari Seribu Sholawat

Sehari Seribu Sholawat Bismillaahir Rahmaanir Rahiim... Kamu tahu apa manfaat dari mengamalkan sholawat setiap hari? Jawabannya, manfaat sholawat banyak banget. Banget! Nggak kehitung, deh, seberapa banyak kemudahan yang bakalan kita dapat setelah mengamalkan sholawat. Cuma dengan sholawat, Insyaa Allah, kita bisa mendapatkan apa aja yang kita butuh. Percaya? Oke, nggak apa-apa kalau kamu nggak percaya. Tapi ini beneran! Aku nggak ngibul. Sumpah. Aku akan tulis tentang pengalamanku setelah mengamalkan seribu sholawat setiap hari sesuai dengan apa yang terjadi waktu itu, meskipun tidak terlalu detail, tapi itulah intinya. Aku tulis cerita ini, bukan maksud aku ingin dianggap sok suci, sok alim, atau pun riya karena ingin dipuji. Bukan, sama sekali bukan. Demi Allah, aku hanya ingin berbagi pengalaman yang sudah aku dan teman-temanku rasain selama di Lampung berkat ngamalin sehari seribu sholawat. Aku hanya ingin kamu yang membaca tul

Nikmat Sholawat: Diutamakan Saat Kiamat

Tahun 2017 lalu, aku pernah mengulas sedikit pengalaman tentang mengamalkan shalawat bersama teman-temanku. Niat awal hanya ingin mengabadikan perjalanan yang sederhana dan penuh makna. Tetapi di luar dugaan alhamdulillah tulisanku diterima banyak orang, bahkan ada yang termotivasi   untuk ikut mengamalkan sehari seribu shalawat. Selain yang pernah kutuliskan sebelumnya, sebetulnya sampai sekarang pun banyak keajaiban-keajaiban kecil yang aku dapat berkat fadhilah mengamalkan shalawat. Misalnya sebulan yang lalu aku sempat mengalami kesulitan perekonomian. Uang tabungan sudah defisit untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran yang tak terduga. Apalagi ketika musim nikahan di sana-sini, bayar arisan yang selalu nombokin, ongkos magang yang over budgeting , itu cukup membikin kepalaku mumet tak keruan. Ditambah uang saku yang diberikan ibu tidak seberapa dan kadang masing kurang. Sedihnya aku sampai harus jual kedua cincinku supaya bisa bayar arisan setiap minggunya. Samp