Hamba Duit,
Akukah itu?
Di suatu pagi, di saat gue ngerjain tugas di depan teras rumah
tetangga, gue dan abang gue terlibat sebuah diskusi. Mungkin karena gue jarang
ngobrol ngalor ngidul bareng dia, jadi diskusi yang dibahas cukup banyak.
Dimulai dari dia yang mempertanyakan kenapa gue setiap pagi suka banget ngopi
sampai ke pernyataan dia yang cukup bikin gue mikir keras, “semua orang itu butuh duit. Mungkin juga udah jadi hambanya duit”.
Salah satu katanya itu menarik, “apa-apa sekarang bisa dibeli pake duit.
Bohong kalau sekiranya lu menyangkal kalau lu nggak butuh duit. Dalam
hal pendidikan juga selalu tentang duit. Karena duit, lu bisa kuliah, kan? Nggak
mandang pinter atau nggaknya si anak, selama dia punya duit, dia bisa kuliah.
Dan karena duit juga kalau semisalnya ada seseorang yang nggak suka sama
lu, si orang itu pengin lu di DO dari
kampus dan terlebih dia anak penjabat kampus, lu bisa aja main didepak.”
Pernyataan itu muncul setelah gue mempertanyakan kepada umi gue
tentang anak tetangga yang tidak melanjutkan kuliah, padahal ia termasuk orang
kaya. Karena setiap gue ada di rumah, gue selalu menemukan si anak tetangga
itu. Tapi ketika umi gue bilang kalau si anak tetangga itu nggak berhasil diterima
di akademik kepolisian, seketika aja gue berasumsi, “dari SMP dia udah dididik dengan cara yang salah, sih. Orangtuanya gak
pernah mengajarkan si anak itu buat berusaha terlebih dahulu. Masuk SMP pake
jalan belakang, SMA juga. Mentang-mentang banyak duit, semua pake cara gampang.
Kalau si orangtuanya selalu memanjakan itu anak, aku, sih, cuma kasihan sama
dia. Dia jadi nggak tahu gimana rasanya susah, dia jadi nggak tahu gimana
rasanya berjuang dengan jeripayahnya sendiri. Kalau nanti dia menemukan masalah
yang besar, takutnya dia nggak bisa survive sama masalahnya itu.”
Umi gue cuma menyimak, abang gue yang sedang asyik
mengepul-ngepulkan rokoknya itu dengan gamblangnya dia berbicara, “bagi orang yang punya banyak duit mah bebas,
mau ngapain aja enak. Jangankan sekolah, kerja aja sekarang mah banyak yang
pake jalan belakang. Contohnya pns, banyak, kok, yang rela ngeluarin berjuta-juta
sampe beratus-ratus juta cuma buat dapetin banyak duit. Jaman sekarang apa,
sih, yang nggak bisa dibeli pake duit. Orang ke neraka bisa gara-gara duit, ke
surga juga sama, butuh duit. kalau mau sedekah harus pake duit, kan? Berdakwah
ke mana-mana juga selalu pake duit, kan?"
Tentu jawaban abang gue ini bisa didebat, tapi gue nggak mau mendebatnya.
Apalagi itu hanya timbul dari asumsinya belaka, kalau didebatin keadaan malah
semakin tersulut.
“Tapi di akhirat nggak ada
duit, A.” kata gue akhirnya setelah lama mendengarkan omongan abang gue itu.
“Ya, memang nggak ada.” katanya sebelum melanjutkan, “tapi
balik lagi, semua orang butuh duit. Lu kuliah alasannya supaya nanti lu dapat
kerjaan yang bagus, kan? Punya suami penginnya yang mapan juga, kan? Sekeras
apapun lu membual tapi kenyataannya memang begitu. Kebanyakan perempuan nggak
mau punya suami yang nggak punya duit. lu tahu sendiri harga make-up dan segala
baladanya mahal-mahal.”
“Kesimpulannya apa"?
tanya gue lagi.
“Tanpa disadari semua orang udah jadi hamba duit.” Ia mengakhiri perkataannya bersamaan dengan puntung rokok yang
tandas dibakar.
Setelah mendengar itu rasanya gue pengin bilang, ”haduh, A, hidup itu lebih dari sekadar duit.
Lebih indah dari sekadar apa yang bisa dilihat di dunia. Lebih banyak dari apa
yang disediakan yang fana. Dan nggak bisa juga menyebut semua orang itu hamba
duit. Ah!”
Memang, sih, jika kita memandang hidup
hanya dari segi materi, semua terasa runyam. Terlebih ketika keadaan dompet
mulai mencekik. Ditambah kebutuhan hidup yang harganya semakin melangit, seolah
bau ajal sudah mencuat di atas ubun. Pusing tak terhindarkan. Bukan hal yang tabu juga di zaman yang
sudah edan ini, banyak orang yang sudah men-Tuhan-kan duit. Berbagai macam
jalan dilakukan demi mendapatkan sekarung uang. Sekalipun itu didapatkan dengan
cara yang haram jadah. Tuhan dinomor sekiankan, sedangkan uang diprioritaskan
di atas segalanya. Bukankah ini edan?
Bagi manusia yang tak waras, bisa jadi
sah-sah saja mendapatkan uang dengan cara yang disukai setan, menjual birahi sampai pagi misalnya. Tapi apakah Tuhan sudi menerima cara itu? Tentu tidak.
Di kantor contohnya, karyawan lebih
patuh terhadap atasan mereka. Mereka menuruti semua perintah Si Bos, namun
perintah Tuhan? Mereka kerap kali abai. Mereka berdalih jika tidak mengindahkan
perintah atasan, mereka akan dipecat dan bisa jadi akan terancam kehilangan
sumber mata pencahariannya. Tapi lagi-lagi, mereka tidak pernah takut jika
Tuhan benar-benar memutuskan sumber rezekinya. Benar-benar sudah tidak waras,
bukan?
Bos itu tidak setara dengan Tuhan. Dia pun
sama, manusia biasa. Namun sayangnya manusia-manusia itu seringkali
menggantungkan nasibnya kepada manusia juga.
Apakah uang semaharaja itu? Sampai-sampai
para pejabat negeri menjelma keparat-keparat laknat yang tega membabat habis
uang rakyat. Rakyat biasa semakin sekarat, sedangkan pejabat bangsat rumahnya
semakin mewah dan bertingkat-tingkat.
Tidak ada manusia yang tidak pernah
dirundung masalah, bukan? Terlebih masalah itu seputar uang, rasanya hidup kian
carut marut. Apa lagi, kesuksesan hidup dinilai dengan uang, prestasi pun harus
diukur dengan uang. Inilah yang membuat segelintir orang berlomba-lomba dalam
mengumpulkan banyak uang, bukan lagi berlomba-lomba dalam mengumpulkan amal
kebaikan.
Kita mungkin menolak disebut hamba duit,
tapi setiap hari yang kita bicarakan itu-itu melulu, pencapaian hidup diukur dari banyaknya
duit yang kita punya. Berbicara soal kesuksesan pun batasannya pasti materi,
bahkan yang sering kita sebut-sebut setiap hari tidak jauh tentang dunia. Barangkali
memang benar, duit telah memaharaja di jagat raya. Di seberang sana pun ada
manusia yang dengan gilanya saling membunuh demi duit yang nominalnya hanya
berjuta-juta.
Hidup bermanfaat itu tidak harus menunggu
berduit, bahkan bahagia tidaknya seseorang tidak ada korelasinya sama sekali
dengan duit. Lebih bahagia mana, banyak duit tapi miskin hati atau kaya harta
tapi miskin duit? Terserah kau hendak memilih yang mana biar itu jadi urusan
kau. Namun kuberitahu sekali lagi, katanya, di akhirat sana tidak ada duit yang
akan menolongmu, sekalipun kau pernah mengagung-agungkan duit.
Comments
Post a Comment