Skip to main content

Merayakan Segala yang Berisik dan Berbisik di Kepala


Dalam satu badai penuh rasa bosan, ia terdampar di sebuah kamar paling berantakan di dunia. Sudah tiga puluh menit ia duduk memandangi laptop usangnya, namun tak ada satu kata pun yang berhasil ia tulis. Ia heran sejak kapan dirinya bertambah dungu. Barangkali terlalu banyak tidur membuat otaknya tidak bisa difungsikan lagi dengan baik, atau mungkin sudah takdirnya ia menjadi manusia paling bodoh. Entahlah, yang jelas di malam itu ia merasa tak berdaya menuliskan satu kalimat pun. Kemudian ia akhirnya menyerah dan merebahkan kembali tubuhnya ke kasur yang lugu.
Sembilan hari mendatang Kalani genap berusia 23 tahun. Ia berpikir sebentar lagi ia akan berakhir menjadi perempuan tua yang membosankan, yang menghabiskan sepanjang harinya dalam kemonotonan yang sama: makan, tidur, makan, dan tidur lagi – hingga ia menjadi orang buangan dalam dirinya sendiri. Kalani tak mengkhawatirkan itu, yang ia khawatirkan hanyalah satu kebenaran tentang bahwa dirinya benar-benar payah dalam hal apa pun. Di usianya yang tidak bayi lagi itu, pencapaian hidupnya tak pernah kunjung sampai. Kalani semakin gusar.
Bagaimanapun ia pernah bermimpi bisa melahirkan buku setidaknya satu dalam seumur hidupnya, namun mimpinya itu hanya berani ia gantung di langit-langit kamarnya belaka. “Manusia mana yang mau membaca tulisan-tulisanku,” begitulah ia berkeyakinan bahwa di hadapan orang lain ia merasa tidak berarti, merasa minder, bahkan menjadi rendah diri pula. Maka nyata senyata-nyatanya bahwa Kalani meresmikan dirinya bukan hanya gagal tetapi juga dungu.
Menjelang tengah malam, Kalani merasa lunglai dan tercabik atas rasa jemu yang menyerang dirinya. Dipandanginya lagi laptop usangnya itu, tetapi sama seperti satu jam yang lalu, Kalani masih kesulitan untuk memulai menulis. Ia menghela napas panjang. Kepalanya mulai pening dipenuhi kata-kata, namun satu huruf pun tidak berhasil ia tuliskan. Lalu, ia menutup laptopnya secara kasar, “goblok!” katanya mengumpat dengan suara pelan. Kalani yang malang. Kemudian ia menyandarkan tubuhnya ke pojokan jendela, berharap ada inspirasi menyelinap masuk ke kepalanya yang dungu itu. Namun yang terlintas justru bayangan percakapan antara Kalani dengan temannya sore tadi.
“Apa kau serius ingin berhenti menulis sepenuhnya?”
“Begitulah,” kata Kalani tanpa ekspresi.
“Anak dungu. Kau selalu berakhir menyedihkan.”
“Ais diam kamu!"
“Kapan terakhir kau menulis rutin?”
“Setahun yang lalu.”
“Benar-benar kemunduran yang nyata.”
“Kamu memang banyak omong!”


****
Sejenak selepas Kalani memikirkan percakapan itu, suara petir terdengar saling bersahutan – mungkin sebentar lagi hujan. Ia memijat dahinya yang semakin pusing. Terlalu lama berdiam diri di kamar membuat ketidakwarasannya kian menjadi-jadi, Kalani pun meninggalkan kamarnya dan berniat mencari angin segar di teras rumahnya.
 “Eh belum tidur?” tanya Kalani ketika ia menemukan Anwar – kakak laki-lakinya sedang merokok di teras rumah. Anwar tidak menggubris Kalani, ia hanya mengembuskan asap rokok ke sembarang arah. Mereka sama-sama terdiam memandangi langit yang kian murung. Obrolan belum sempat terjadi karena masing-masing mereka masih sibuk bermain dengan kata-kata di dalam hatinya.
Satu angin kencang kembali berpusing membelai rambut mereka. Langit terbahak-bahak, lalu gugurlah air matanya sebagai  hujan yang turun dengan hampa dan jatuh membasahi kulit yang lembab.
“Apa yang mengganggu pikiranmu hingga membuatmu terjaga sampai larut begini?”
“Di usiaku sekarang belum ada pencapaian yang patut aku banggakan.”
“Teruslah berpikiran kerdil seperti itu.”
“Maksudku, menjadi dewasa ternyata semenyedihkan ini. Ketika yang lain mendapat gaji yang besar, pekerjaan yang enak, aku justru diambang akan di-phk dari tempatku bekerja. Aku bahkan nihil prestasi. Rencana-rencana yang sudah kususun rapi nyaris tidak ada yang terwujud.”
“Kau tahu kenapa mereka berhasil?”
“Karena orangtua mereka kaya mungkin.”
“Tolol. Bukan itu.” Anwar tertawa, lalu ia menoyor kepala adik bungsunya. Ia memang sering melakukannya justru ketika hatinya sedang riang.
“Terus apa?”
“Dasar anak bodoh,” Anwar menoyor kepala Kalani lagi sebelum akhirnya ia melanjutkan, “begini, mereka berhasil meraih target hidupnya karena mereka melakukannya sungguh-sungguh, bukan hanya sekadar menghabiskan waktu dengan rebahan di kamar.” Anwar mengambil satu batang rokok lagi, lalu menyulut dan menghisapnya.
“Tidak bisakah kau berhenti menoyor kepalaku!” Kalani menatap tajam kakaknya dengan penuh kemarahan.
“Kudengar kau ingin menjadi penulis? Mana tulisanmu? Tidak pernah aku membaca hasil karyamu, atau mungkin kau memang tidak pernah benar-benar serius menulis.” Sebuah tegukan air liur terdengar nyaring dari arah Kalani.
“Maksudku jangan kau jadikan menulis buku menjadi satu-satunya pencapaian hidupmu. Menulislah sebagaimana kau ingin menulis, bukan karena kau gusar melihat temanmu sudah melahirkan buku terbarunya. Itu kan, yang menjadi keresahanmu sekarang?” 
Saat itu Kalani memilih diam. Ia tak pernah berpikir bahwa ucapan kakaknya bisa menohok hatinya. Ia paham betul bahwa sebenarnya dirinya tidak pernah serius mengejar mimpinya. Ia menelan ludah lagi.
Langit semakin terbahak, belukar hujan semakin melebat.
“Hidup begini amat.” kata Kalani dengan nada penuh frustasi. Ketika usia Kalani bertambah, Kalani justru semakin bayi dan kekanak-kanakan. Ia selalu memandang hidup hanya satu penglihatan, terlalu sempit, dan penuh kesembronoan.
“Hidup sebenarnya ya memang seperti itu: susah-senang, kaya-miskin, menderita-bahagia, kesulitan-kemudahan. Sudah paketan. Jangan teralu fokus pada kesulitannya saja. Hidupmu akan semakin mandek.”
Cuping hidung Kalani langsung membesar. Tapi, gagasan kakaknya itu boleh untuk diaminkan. Maka di saat-saat hujan masih deras, mereka berdua masuk ke obrolan yang kian malam kian menghangat. Topik obrolan pun berganti-ganti dinamis. Padahal sebelumnya, Kalani dan Anwar sangat jarang membicarakan hal-hal serius, mereka lebih sering bertengkar dan saling memojokan satu sama lain. Anwar belum menikah, usianya hampir memasuki kepala tiga, tetapi ia lebih santai dalam menjalani hidup. Tidak seperti adik bungsunya itu yang terlalu mengkhawatirkan banyak hal.
“Kenapa orang lain hidupnya serba mudah dan berkecukupan?” kata Kalani setelah kesenyapan melanda mereka berdua.
“Kau hendak mengatakan bahwa kau ingin bersaing supaya hidupmu lebih makmur dari mereka?”
“Begitu kira-kira.”
“Ais benar-benar anak dungu. Hiduplah tenang muthmainnah. Manusia tidak boleh bersaing kecuali dalam kebaikan. Itu pun tidak untuk bangga dan unggul-unggulan. Hidup bukan perkara jumlah. Lagipula capaian hidup tertinggi bukan dilihat dari seberapa besarnya gaji atau tingginya jabatan, atau banyaknya pencapaian, tapi ditandai oleh kemampuanmu untuk mensyukuri hidup di tengah kondisi apa pun – panas, dingin, hujan, badai, siang maupun malam, harus memiliki kemampuan untuk menghargai proses dan selalu bersyukur.” sahut Anwar kemudian ia menghisap dan menyemburkan asap rokok ke arah Kalani.
Kalani tak puas dengan penjelasan kakaknya. Ia merasa gagasannya terlalu kabur dan bermakna ganda.
“Kau tahu kenapa sekarang orang-orang menjadi saling berdesakan, senggol-menyenggol, dan saling bidik-membidik?” tanya Anwar kepada Kalani.
“Karena setiap hari kita selalu bersaing-saingan demi keunggulan.”
“Tuhan tersenyum melihat kau menggunakan otakmu dengan baik.” ledek Anwar merasa puas mendengar jawaban dari adik bungsunya itu.
“Lalu, aku harus bagaimana Tuan bermulut besar?”
“Ubahlah caramu melihat dunia. Kadang-kadang kita ini ada di perspektif yang salah.”
Kesenyapan sekonyong datang kembali begitu hujan berhenti. Dini hari memang waktu yang tepat untuk merayakan segala sesuatu yang berisik dan berbisik di kepala. Maka perdebatan mereka berakhir ketika suara jangkrik terdengar berderik di sudut jalan.


Tangerang, 02 Mei 2020.






Comments

  1. Kapan lounching buku sendiri? Saya salah satu yg pertama ingin beli.

    ReplyDelete
  2. Replies
    1. Masih meskipun jarang-jarang. Adakah ide atau masukan aku harus menulis tentang apa selanjutnya?

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sehari Seribu Sholawat

Sehari Seribu Sholawat Bismillaahir Rahmaanir Rahiim... Kamu tahu apa manfaat dari mengamalkan sholawat setiap hari? Jawabannya, manfaat sholawat banyak banget. Banget! Nggak kehitung, deh, seberapa banyak kemudahan yang bakalan kita dapat setelah mengamalkan sholawat. Cuma dengan sholawat, Insyaa Allah, kita bisa mendapatkan apa aja yang kita butuh. Percaya? Oke, nggak apa-apa kalau kamu nggak percaya. Tapi ini beneran! Aku nggak ngibul. Sumpah. Aku akan tulis tentang pengalamanku setelah mengamalkan seribu sholawat setiap hari sesuai dengan apa yang terjadi waktu itu, meskipun tidak terlalu detail, tapi itulah intinya. Aku tulis cerita ini, bukan maksud aku ingin dianggap sok suci, sok alim, atau pun riya karena ingin dipuji. Bukan, sama sekali bukan. Demi Allah, aku hanya ingin berbagi pengalaman yang sudah aku dan teman-temanku rasain selama di Lampung berkat ngamalin sehari seribu sholawat. Aku hanya ingin kamu yang membaca tul

Tak Semanis Nasib Anak Tetangga

Tak Semanis Nasib Anak Tetangga Source: Pinterest AKULAH Anindya, terlahir untuk diremeh-temehkan. Mungkin kau tak percaya atau bahkan tertawa kecil sambil berujar mana mungkin ada orang yang bernasib sedemikian buruk. Barangkali kau sudah mendengar cerita tentang diriku dari para petualang di penjuru negeri sehingga mendapat gambaran yang amat keliru tentangku. Aku lahir dengan nama kecil Anin. Bapak ku hanya seorang buruh pabrik biasa. Tak berdasi, apalagi punya banyak materi di sana-sini. Ibuku, Nunik, pun sama, sehari-hari kesibukannya hanya mengurusi dapur dan sumur. Namun, setelah menjelang Ma gh rib pekerjaannya bertambah satu:  mengajar anak-anak mengaji di surau dekat rumahku tinggal. Begitulah kiranya keadaanku. Aku bukan anak perempuan yang terlahir dari keluarga berada. Aku lahir di Magelang , tapi besar di Tangerang. Ibuku kelahiran Jawa, setelah ia memutuskan menikah dengan Bapak. Ibu langsung diboyong ke Tangerang untuk menetap di sana. Namun, sebulan

Nikmat Sholawat: Diutamakan Saat Kiamat

Tahun 2017 lalu, aku pernah mengulas sedikit pengalaman tentang mengamalkan shalawat bersama teman-temanku. Niat awal hanya ingin mengabadikan perjalanan yang sederhana dan penuh makna. Tetapi di luar dugaan alhamdulillah tulisanku diterima banyak orang, bahkan ada yang termotivasi   untuk ikut mengamalkan sehari seribu shalawat. Selain yang pernah kutuliskan sebelumnya, sebetulnya sampai sekarang pun banyak keajaiban-keajaiban kecil yang aku dapat berkat fadhilah mengamalkan shalawat. Misalnya sebulan yang lalu aku sempat mengalami kesulitan perekonomian. Uang tabungan sudah defisit untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran yang tak terduga. Apalagi ketika musim nikahan di sana-sini, bayar arisan yang selalu nombokin, ongkos magang yang over budgeting , itu cukup membikin kepalaku mumet tak keruan. Ditambah uang saku yang diberikan ibu tidak seberapa dan kadang masing kurang. Sedihnya aku sampai harus jual kedua cincinku supaya bisa bayar arisan setiap minggunya. Samp