Skip to main content

Orang Memanggilnya Si Pesimis

Bukankah kebanyakan orang selalu memulai cerita dengan kata-kata yang begitu murahan seperti, “Pada suatu ketika” atau, “di malam itu” atau yang lebih murahan lagi, “legenda menyebutkan.” Pernah kau memperhatikan itu?

Para ibu senang betul berkata jika kebanyakan kisah tidak benar dan biasanya tidak dimulai seperti apa yang kau harapkan. Mereka dimulai pada suatu hari yang biasa dengan orang-orang biasa.
            
           Inilah salah satu dari kisah itu...

November sudah hampir habis. Si Pesimis – begitulah orang-orang memanggil dirinya – justru semakin tidak waras. Kesedihannya semakin menjadi-jadi. Kegelisahannya semakin menguasai dirinya. Ketika ia buang tahi sekitar pukul delapan pagi tadi, ia merenung lebih lama dari sebelumnya. Lama ia berjongkok, bukan karena susah mengeluarkan tahi-tahinya, melainkan ia sedang memikirkan banyak hal. Pikirannya penuh, tapi hatinya kosong. Tubuhnya kian menua, tapi hatinya serasa bayi yang cengeng. Lalu, sambil menikmati saat-saat penuh bau itu, Si Pesimis mulai mengevaluasi apa saja yang sudah dilakukan di hari kemarin, mengingat kembali kebodohan-kebodohan apa saja yang merenggut sisa kewarasannya.

Lubang kakus itu ternyata sudah penuh, ia menyiramnya dengan bergayung-gayung air. Dan tentu saja Si Pesimis tidak langsung cebok, ia masih berjongkok di atas kakus dan merenung lagi. “Mengapa aku terlalu banyak mengambil cemas, apa yang aku takutkan sebenarnya, heh?” Pertanyaan yang ia buat-buat sendiri itu membikin ia tambah gelisah. Aku tidak boleh terusan-terusan seperti ini, anak-anakku bisa malu jika punya ibu pecundang sepertiku, katanya penuh keputusasaan.  

Bagaimanapun, Si Pesimis tidak benar-benar mengiginkan dirinya semakin terpuruk. Ia pun sedih melihat dirinya sering menangis tanpa sebab. Ia membenci dirinya yang akhir-akhir ini lebih sibuk membenci orang-orang yang lebih maju darinya. Ia mengutuk dirinya yang menanam dendam di hatinya. Percayalah, ia sudah berusaha. Tapi lagi-lagi sisi terburuknya selalu sukses menaklukan dirinya. Dan tentu saja Si Pesimis itu hanya bisa memeluk diri sendiri untuk sekadar meredakan pilu.

Pukul berapakah sekarang, tanyanya sendiri. Ia tak memakai arloji di tangannya, tapi ia percaya bahwa dirinya telah menghabiskan lebih dari setengah jam di kamar mandi. Ia pun masih berjongkok di atas kakus. Kakinya sudah kebas, tapi ia masih ingin buang tahi dan merenung lagi. Dibukanya keran air agar suaranya menyaingi kegaduhan di kepalanya itu. Dan ia tiba-tiba teringat nasihat temannya tempo hari, bahwa selagi Tuhan tidak marah kepadanya, seharusnya ia menerima apa pun nasib hidupnya di dunia: cantik atau biasa-biasa saja, sedih atau bergembira, kaya atau melarat, dipuji atau dicaci, teraniaya atau bebas, dikenal atau dilupakan, dijunjung atau malah dibanting.
            Si Pesimis mematikan keran. Menyiram sisa tahi yang masih mengambang, lalu cebok dan bergegas meninggalkan kamar mandi.

***
Di saat-saat Si Pesimis kembali waras, sering ia menasihati dan menegur dirinya agar menghargai waktu dengan mengatakan, “Ada hari kemarin. Ada juga hari esok.” Pada saat itu pula Si Pesimis menganggap masa lalunya sebagai kisah yang hilang dan harus dilupakan. Dan masa depan, ia anggap sebagai sesuatu yang tak harus diburu-buru meraihnya. Tidak juga terlalu dikejar. Aku harus melawan, katanya dengan semangat. Maka ia mencari buku atau kertas atau apa pun itu yang bisa ia gunakan untuk menulis. Setelah ia menemukan buku catatan semasa kuliahnya, ia menumpahkan keresahannya di sana.

Aku khawatir jika di hari esok aku justru semakin kehilangan akal sehat karena terlalu ambisi mengejar dunia atau terlalu sibuk membenci sampai lupa mencintai semua orang yang membenciku. Aku takut bila nanti aku semakin tersesat kehilangan diriku – maka tulisan ini hadir untuk diriku sendiri. Begitulah ia memulai tulisannya di pagi yang menyebalkan. Sebab perutnya yang kosong sudah berontak minta diisi, sementara di dapur tidak ada makanan yang bisa ia santap. Tidak ada sisa makanan semalam, tidak ada juga telur di kulkas yang bisa ia goreng. Lalu ia memutuskan kembali menulis.

Sebelumnya aku minta maaf pernah membuatmu menjadi manusia paling tolol dan goblok. Berkali-berkali melakukan kesalahan yang sama tanpa memberikan kesempatan kepadamu untuk berubah lebih baik. Mungkin aku adalah orang yang tidak pernah memercayai kemampuanmu. Kau bodoh dan payah, setidaknya itulah yang aku percayai dari dirimu. Sekali lagi aku minta ampun. Aku pernah menganggapmu tidak lebih sampah dari sampah yang teronggok di pojok pasar yang becek.
           
        Peluh bercucuran di dahinya. Sejak kapan menulis menjadi aktivitas yang melelahkan, padahal ia baru menulis tidak kurang dari lima menit.

Begini, dengarkanlah baik-baik. Aku tahu kau pernah membenciku tanpa ampun. Menyalahkanku lebih sering ketimbang berterima kasih atas usahaku bertahan sampai sejauh ini. Aku memang pernah tidak memercayaimu, tidak menghargaimu, tapi tolonglah jangan membenciku lebih banyak lagi. Itu tidak akan membuatmu sembuh dari sakit panjang yang merorong tubuh dan pikiranmu. Sekarang berdamailah denganku. Dengan dirimu sendiri.
         
         Si Pesimis menghela napas panjang, lalu kembali menulis:

Dan yang bisa kau lakukan selain membenci dirimu sendiri adalah perbanyak syukur dan menikmati hidup sebagaimana mestinya. Jika kau lupa caranya bersyukur, akan kuberi tahu dengan senang hati: kau hanya perlu mencari dan menemukan kekuranganmu, menerima kelemahanmu, dan menemukan ketepatan hidupmu. Semua yang membuatmu tidak sehat hindarkanlah. Semua yang membuatmu sehat lakukanlah seberat apa pun itu. Supaya kau siap ke masa depan dengan ketangguhan, kesehatan, keikhlasan hati, dan kecerdasan pikiran. Penyakit yang membakar kehidupanmu itu adalah hasad, sebab kau tidak ikhlas terhadap dirimu sendiri.

Kau tahu, heh? Empat hari lalu, kau bertingkah seperti orang sinting. Terjaga selama dua hari tanpa tidur. Menghabiskan sisa malam dengan menangis hingga menjelang subuh, karena kau terlalu takut menyambut hari baru padahal kau sendiri tidak tahu skenario seperti apa yang akan dimainkan oleh-Nya. Kegelisahanmu sama sekali tidak berdasar. Percaya padaku, apa yang kau takutkan itu tak bakal terjadi. Sekalipun aku tahu kau marah besar karena keluargamu sama sekali tidak mengerti kondisimu, tidak ada salahnya bukan jika kau memaafkan mereka. Mereka juga mencintaimu, sungguh. Kudengar kau juga sama marahnya kepada teman-temanmu. Kau kesal temanmu tidak ada ketika kau membutuhkan mereka. Tentu saja kau juga iri kepada temanmu yang sudah kawin, sedangkan teman kencan pun kau tak punya. Benar-benar hatimu telah menghitam!
            
          Si Pesimisi itu hanya menggeleng sedih.
            
Demikianlah, cara bekerja hidup memang seperti itu. Berbeda dengan cerita fiksi yang biasa kau baca sebelum tidur – Si kaya yang jatuh cinta kepada si miskin, lalu menikah, punya anak dan hidup bahagia. Kau tidak bisa memaksakan semuanya sesuai dengan keinginanmu. Kau tidak bisa meminta yang bahagia-bahagianya saja. Seperti gembira, sedih pun berkah yang perlu kau terima. Bersabarlah, hingga waktunya tiba ada yang bakal datang melamarmu.

         Namun tiba-tiba Si Pesimis terjerembab dalam keputusasaan yang mengerikan. “Masalahnya,” ia berkata pada dirinya sendiri, “lelaki mana yang mau mengajakku kencan. Apalagi mau kawin denganku!”
     
      Dan, lagi-lagi Si Pesimis hanya menggeleng sedih, kemudian buru-buru merampungkan tulisannya.

Beberapa orang di luar sana ada yang senang melihat kau melarat, bahagia melihat kau cepat mampus. Ayo bertahan! Dan lanjutkan membuat mereka jengkel dengan terus berbuat kebaikan. Maaf aku agak cerewet, sebenarnya aku juga sudah pegal menulis ini, tapi apa pun yang terjadi kau harus tetap tegak berdiri. Harus kuat. Harus keras kepala, supaya kau bisa melihat akhir perjalanannya. Barangkali kau memang punya alasan untuk marah, sedih, atau kecewa. Tetapi, kuharap kau tidak pernah kehilangan alasan untuk tidak bersyukur.

Inilah akhir kisah dari seseorang yang pesimis. Ia dan jiwanya mulai belajar untuk menatap semua yang buruk dengan tabah sampai tampaklah keindahannya. Kemudian Si Pesimis berhenti menulis, menutup buku catatan kuliahnya, merapikan kamar paling berantakan di dunia, mematikan lampu dan pergi tidur. Ia berdoa dengan serampangan agar laparnya menguap bersama rasa kantuk yang menyerangnya.


Tangerang, 28 November 2019.

Comments

  1. Vitamin banget buat yang lagi ngalamin Quarter Life Crisis!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sehari Seribu Sholawat

Sehari Seribu Sholawat Bismillaahir Rahmaanir Rahiim... Kamu tahu apa manfaat dari mengamalkan sholawat setiap hari? Jawabannya, manfaat sholawat banyak banget. Banget! Nggak kehitung, deh, seberapa banyak kemudahan yang bakalan kita dapat setelah mengamalkan sholawat. Cuma dengan sholawat, Insyaa Allah, kita bisa mendapatkan apa aja yang kita butuh. Percaya? Oke, nggak apa-apa kalau kamu nggak percaya. Tapi ini beneran! Aku nggak ngibul. Sumpah. Aku akan tulis tentang pengalamanku setelah mengamalkan seribu sholawat setiap hari sesuai dengan apa yang terjadi waktu itu, meskipun tidak terlalu detail, tapi itulah intinya. Aku tulis cerita ini, bukan maksud aku ingin dianggap sok suci, sok alim, atau pun riya karena ingin dipuji. Bukan, sama sekali bukan. Demi Allah, aku hanya ingin berbagi pengalaman yang sudah aku dan teman-temanku rasain selama di Lampung berkat ngamalin sehari seribu sholawat. Aku hanya ingin kamu yang membaca tul

Tak Semanis Nasib Anak Tetangga

Tak Semanis Nasib Anak Tetangga Source: Pinterest AKULAH Anindya, terlahir untuk diremeh-temehkan. Mungkin kau tak percaya atau bahkan tertawa kecil sambil berujar mana mungkin ada orang yang bernasib sedemikian buruk. Barangkali kau sudah mendengar cerita tentang diriku dari para petualang di penjuru negeri sehingga mendapat gambaran yang amat keliru tentangku. Aku lahir dengan nama kecil Anin. Bapak ku hanya seorang buruh pabrik biasa. Tak berdasi, apalagi punya banyak materi di sana-sini. Ibuku, Nunik, pun sama, sehari-hari kesibukannya hanya mengurusi dapur dan sumur. Namun, setelah menjelang Ma gh rib pekerjaannya bertambah satu:  mengajar anak-anak mengaji di surau dekat rumahku tinggal. Begitulah kiranya keadaanku. Aku bukan anak perempuan yang terlahir dari keluarga berada. Aku lahir di Magelang , tapi besar di Tangerang. Ibuku kelahiran Jawa, setelah ia memutuskan menikah dengan Bapak. Ibu langsung diboyong ke Tangerang untuk menetap di sana. Namun, sebulan

Nikmat Sholawat: Diutamakan Saat Kiamat

Tahun 2017 lalu, aku pernah mengulas sedikit pengalaman tentang mengamalkan shalawat bersama teman-temanku. Niat awal hanya ingin mengabadikan perjalanan yang sederhana dan penuh makna. Tetapi di luar dugaan alhamdulillah tulisanku diterima banyak orang, bahkan ada yang termotivasi   untuk ikut mengamalkan sehari seribu shalawat. Selain yang pernah kutuliskan sebelumnya, sebetulnya sampai sekarang pun banyak keajaiban-keajaiban kecil yang aku dapat berkat fadhilah mengamalkan shalawat. Misalnya sebulan yang lalu aku sempat mengalami kesulitan perekonomian. Uang tabungan sudah defisit untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran yang tak terduga. Apalagi ketika musim nikahan di sana-sini, bayar arisan yang selalu nombokin, ongkos magang yang over budgeting , itu cukup membikin kepalaku mumet tak keruan. Ditambah uang saku yang diberikan ibu tidak seberapa dan kadang masing kurang. Sedihnya aku sampai harus jual kedua cincinku supaya bisa bayar arisan setiap minggunya. Samp