Halo pembaca setiaku. Sudah lama kita tidak bersua, ya? Kali terakhir aku menulis beberapa bulan yang lalu, bukan?
Sebetulnya ada beberapa alasan mengapa aku
tidak menulis akhir-akhir ini. Salah satunya yaitu memikirkan tulisan apa yang
bisa aku bagi dan juga bermanfaat untuk kamu. Karena sebaik-baiknya tulisan
adalah tulisan yang memiliki nilai dan mencerdaskan pembacanya. Tetapi terus-menerus memikirkan hal itu justru membikin kepalaku pusing tak keruan. Takut-takut yang
kutulis hanyalah bentuk omong kosong belaka tanpa adanya nilai di dalamnya. Halah
alasan! Tapi percayalah aku juga khawatir blog ini akan mati dibunuh ketidakkonsistenanku
dalam menulis.
Namun, tulisan ini pun hadir setelah aku
sering mendengarkan keluhan orang-orang yang merasa dirugikan karena sudah
dimanfaatkan oleh salah satu pihak. “Dia baik karena cuma mau manfaatinku
doang!” kata temanku penuh kekesalan di suatu malam yang tenang tanpa hujan. Memang apa
ruginya dimanfaatkan orang? Bukankah salah
satu karakter yang harus dimiliki oleh seorang Muslim yaitu menjadi pribadi
yang bermanfaat? Sudah seharusnya, kan
kita memberikan manfaat bagi orang lain. Memberikan manfaat kepada orang
lain, maka manfaatnya akan kembali untuk kebaikan diri kita sendiri. Sebagaimana kalimat Allah di dalam Surah Al-Isra ayat 7: in ahsantum ahsantum li-anfusikum. Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat
baik bagi dirimu sendiri. Ayat
ini seperti stimulus untuk kita tetap berada di dalam kebaikan. Supaya
dengannya kita bermanfaat. Di samping bagi diri kita, bermanfaat juga untuk
orang lainnya. Begitu pun sebaliknya, kalau kita melakukan satu kejahatan
sekecil apa pun itu, maka akibatnya akan balik lagi ke diri kita sendiri.
Selain ayat
tadi ada juga hadits Nabi yang mahsyur itu, “Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. Hadits ini seakan
ingin mengatakan bahwa jika ingin mengukur sejauh mana derajat kemuliaan akhlak
kita, maka ukurlah sejauh mana nilai manfaat diri ini? Sebab hal ini menjadi
indikator bagaimana menjadi mukmin yang sebenarnya. Eksistensi manusia
sebenarnya ditentukan oleh kemanfataannya pada yang lain. Adakah dia berguna
bagi orang lain, atau malah sebaliknya menjadi parasit bagi yang lainnya.
Namun, jauh sebelum kita bicara tentang ayat dan hadist di atas, akhlaklah yang harus kita tata terlebih dahulu. Setelah itu jadilah
manusia yang paling baik dengan cara yang paling banyak memberi manfaaat dengan
dua hal. Satu dengan ilmu, dua dengan harta.
Bagaimana kalau sekiranya harta
tidak punya, ilmu pun hanya sedikit, masih bisakah menjadi anfa uhum linnas?
Tentu bisa. Kita masih bisa mengingatkan dan mengajak teman-teman kita pada
kebaikan. Ajak teman-teman kita untuk belajar bersama, dengan keyakinan bahwa
kita belum tentu lebih baik daripada dia. Ini tugas kita, wajib! Ketika kita mengajak bukan berarti kita lebih
baik daripada dia. Tetapi kita mengajak karena kita ingin sama-sama memperbaiki
diri. Bukan ingin menunjukkan diri jika kita jauh lebih suci daripada dia. Jangan menunggu sampai diri kita menjadi baik untuk berbuat baik. Tapi terus perbaiki sampai
kita benar-benar baik. Bukan untuk terlihat baik. Tapi terasa baik, untuk diri
sendiri maupun orang lain.
Agar kita
benar-benar mendapatkan dari manfaat yang kita berikan kepada orang lain, kita
harus ikhlas. Ikhlas adalah kunci diterimanya amal. Dan hanya amal yang
diterima Allah Swt yang akan memberikan manfaat kepada kita dunia dan akhirat. Jadi
tak mengapa jika sekiranya kita hanya dimanfaatkan oleh teman, sahabat, atau
orang lain, itu tandanya kita memang bermanfaat untuk orang-orang di sekitar
kita.
Niatkan,
bahwa apa yang kita lakukan hanya karena Allah, bukan karena ingin disebut
pribadi yang bermanfaat (pujian). Penyakit riya sungguh tidak terlihat, sangat
samar, sehingga kita harus hati-hati.
Lalu, sudahkah kita menjadi sebaik-baiknya manusia?
Ya,
aku tahu. Aku sedang menasihati diriku sendiri.
Comments
Post a Comment