Izinkan Aku Bertualang, Ibu.
*Suatu hari*
"Bu, aku mau ke Pare, ya."
"Ada
keperluan apa ke sana?"
"Mau ke
Kampung Inggris. Belajar intensif di sana."
"Biar apa,
sih. Nanti yang ada malah keluyuran nggak jelas. Duitnya memang punya?"
"Iya,
nggak jadi berangkat."
*Di hari berikutnya*
"Bu, ada buku baru yang kepengin aku beli. Tapi uang saku ku kurang."
"Beli buku
melulu. Nggak ada uang juga Ibu."
Keesokannya:
"Dek, coba
lihat baju pengajian baru punya Ibu.
Bagus toh?"
-
(Menunjukkan gamis baru berwarna hijau toska itu kepadaku)
"Aku minta
dibelikan buku, Ibu tak mau. Ibu
bilang nggak ada uang toh?"
"Teman-teman
Ibu
pada punya seragam baru. Masak Ibu
pakai baju yang lama. Malu."
"Aku juga
perlu buku baru untuk menambah wawasanku."
"Buat apa
pintar, jika akhirnya hanya mengurus dapur dan sumur."
"Buat apa
pergi ke Majelis Ilmu, jika hanya
memikirkan baju baru."
*Di hari yang lain*
"Bu, hari Sabtu ini aku mau ke Merbabu. Boleh kah?"
"Kamu
pasti tahu apa jawaban Ibu."
"Ayolah, Bu.
Aku tak meminta uang. Aku hanya perlu
mengantongi izin dari Ibu.
"Jangan
merengek seperti anak bayi."
"Dan Ibu
masih memperlakukanku seperti anak bayi. Aku sudah besar, Bu. Sudah seharusnya
aku tahu dunia luar."
"Tapi
tidak dengan mendaki gunung."
"Bagaimana
aku tahu bagusnya kaki gunung, kalau Ibu
selalu mengekang dan mengungkung di rumah."
"Rupanya
buku yang kamu baca sudah membuat dirimu berani membantah orangtua."
-
(Aku menghela napas dalam-dalam. Lalu, kembali ke kamar dan
mengunci diri.)
*Di suatu malam*
“Sebenarnya kamu itu kuliah ambil jurusan apa?”
“Komunikasi”
“Mengapa kamu nggak ambil pendidikan supaya kamu bisa menjadi guru?”
“Bukankah Ibu
tahu aku tak suka mengajar.”
“Memang kamu ingin jadi apa?”
“Jurnalis” kataku mantap.
“Sudah dipastikan masa depanmu suram.”
“Tidak kalau ibu mau mendukungku.”
“Kamu seharusnya paham dengan kemauan Ibu”
“Dan seharusnya Ibu pun paham benar apa yang aku suka.”
-
(Lalu
aku memilih pergi ke kamar untuk meringkuk di kasur)
*Di hari berikutnya*
“Kamu sudah dengar belum?” tetiba Ibu mendatangiku yang tengah sibuk mengerjakan tugas.
“Tentang apa?”
“Si Siti, anak Ibu
Rokayah itu, sekarang
dia sudah mengajar di sekolahnya dulu. Enak, ya. Coba
itu.”
“Lebih enak lagi kalau Ibu tak menyamakan aku dengan anak tetangga.”
“Bukan begitu.”
“Lalu?”
“Kamu
seharusnya bisa seperti dia.”
“Tapi aku bukan dia. Si anak tetangga yang selalu Ibu bicarakan
itu.”
-
(Kemudian aku menutup layar laptopku. Meninggalkan ibu sendirian)
*Di suatu hari yang
lain*
“Ibu,
semakin hari, tugas yang diemban dosen makin berat. Kelas yang kuambil semuanya kelas pagi. Boleh jika aku ngekost saja?”
“Kamu hanya ingin bebas. Betul, kan?”
“Tidak semuanya benar.”
“Terus?”
“Betapa menderitanya aku tiap pagi harus berdesakkan dengan
penumpang kereta yang lain.”
“Itu karena kamu sendiri yang memilih kuliah jauh.”
“Aku rasa tidur lebih baik. Bangunkan aku jika Ibu sudah berubah
pikiran.”
*Malam-malam berikutnya*
-
(Aku yang
tengah asyik menonton televisi dipaksa mendengarkan obrolan ibuku yang sebenarnya sangat tak kusukai.)
“Si Fahri anak Bi Yoyoh itu,
ternyata kuliah dapat beasiswa dari semester satu. Pintar banget pasti, ya.
Katanya dia juga sudah mau diwisuda. Bahkan dia sudah bisa beli motor sendiri. Padahal
kamu tahu sendiri, dia sama sekai
nggak dikasih uang sama orangtuanya. Tapi kok bisa, ya. Hebat.”
“Jangan membandingkan rezeki orang lain.”
“Kamu nggak kepengin seperti itu?”
“Cuma orang bodoh yang tidak mau seperti itu”
“Kamu memang tak pernah ikut beasiswa?
“Siapa yang harus
kusalahkan kalau aku tak
pernah lolos seleksi beasiswa? Bukannya aku tak pernah berusaha, Bu. Lima kali
aku mengikuti seleksi pemberkasan, tapi tak ada satu kesempatan pun menghampiriku.
Barangkali aku memang sebodoh itu.”
-
(Lalu
kumatikan televisi dan pergi ke kamar)
*Di hari-hari berikutnya*
“Bu, teman-temanku mengajakku pergi ke Yogyakarta, bolehkah aku
ikut. Boleh, ya?”
“Kamu tahu betul Ibu pasti khawatir.”
“Khawatir Ibu tidak
mendasar.”
“Tidak ada orangtua yang tidak khawatir dengan anaknya.”
“Tidak ada anak yang ingin dikungkung terus. Ibu tahu aku sudah
besar. Sudah tahu mana yang baik dan mana yang salah.”
“Membantah orangtua adalah hal yang salah. Kamu tahu itu.”
“Aku hanya meminta restu dari Ibu.”
“Ibu hanya tidak ingin kamu kenapa-kenapa.”
“Tidak kalau Ibu memberiku restu dan mendoakan aku selama di
perjalanan.”
“Silakan jika kamu tak
sayang Ibu.”
“Ibu paling bisa membikin aku kalah.”
*Hal yang sama di hari yang lain*
“Anaknya
Bu Aminah sudah kerja semua. Listrik dan air ditanggung anak-anaknya. Senang benar hidupnya.”
“Jadi ibu tak senang punya anak
sepertiku dan abang?”
“Ibu tidak bilang begitu.”
“Lebih baik Ibu mendokan
anak-anaknya.”
“Sudah Ibu lakukan setiap hari.”
“Lalu kapan Ibu berhenti
membandingkan anak Ibu dengan anak tetangga?”
*Suatu pagi*
“Kamu nggak lihat rumah berantakan
dan kamu justru sibuk dengan laptopmu.”
“Akan kurapikan
setelah tulisanku rampung, Bu. Sebentar lagi selesai.”
“Tulisanmu tidak bisa membikin
rumah bersih.”
“Selalu seperti itu.”
“Apanya?”
“Menyudutkanku.”
Terkadang orangtua juga bisa menjadi
faktor kita untuk memaksakan berhenti mengepakkan sayap, dan menahannya untuk
berlari mengejar mimpi. Masih banyak orangtua yang tidak bisa mendukung apa
yang diinginkan anaknya. Barangkali di sini egoku yang
memar. Sehingga memaksakan mereka untuk memahami betul apa yang kumau.
Dialog di atas
merupakan ilustrasi yang kubuat berdasarkan apa yang kurasa dan kualami. Mungkin selama ini aku keliru memahami kemauan ibuku. Boleh jadi ibuku yang keliru dalam memahami
inginku. Aku juga
sama; ingin didukung sebagaimana semestinya. Tapi apa daya, keterbatasan
fasilitas membuatku selalu murung dan hilang semangat. Ada ribuan doa yang aku langitkan setiap hari.
Namun tetap saja selalu aku yang tersingkiran. Selalu aku yang kalah di arena
pertempuran. Padahal aku sudah mengeluarkan usaha terbaikku. Hingga akhirnya
aku limbung tanpa arah. Aku kehilangan tujuan hidupku sendiri.
Bukan berarti aku
tak pernah bersungguh-sungguh membuktikan kalau aku mampu. Hanya saja, di
tengah aku berjuang, semangatku kerap kali dipatahkan oleh ibu yang selalu
membandingkan aku dengan anak tetangga. Kadang rasa lelah selama di perjalanan
pulang ke rumah, juga menjadi salah satu faktor yang meredupakan api
semangatku. Aku tahu. Seharusnya aku tak boleh begitu. Harus ada yang
kuperjuangkan jika apa yang kucitakan selama ini ingin
tercapai. Kalau bisa sampai berdarah-darah. Bukankah orangtuaku juga demikian. Setiap
hari peluh bercucuran di dahinya. Tapi aku justru bersikap congkak kepada
mereka.
Tidak ada hal yang lebih menyedihkan ketika kita hidup seperti
seonggok jasad tanpa makna di hadapan orang yang kita sayangi. Begitulah kiranya yang kurasakan sekarang. Sudah
sebesar ini aku masihlah menyusahkan. Kadang
aku merasa, kenapa hidupku tidak seberuntung itu? Kenapa nasibku tidak sebagus
anak tetangga itu? Dan lagi-lagi aku hanya bisa mengeluh dan berputus asa.
Di sisa
kewarasanku ini, aku sadar, semua hanya tentang bersyukur dan berusaha. Jika aku
masih terlalu pongah untuk bersyukur dan enggan berusaha. Maka binasalah sudah mimpi-mimpiku itu. Tak
ada kebahagiaan melainkan sakit di dada yang tak berkesudahan.
Lagi-lagi
egoku memar. Aku selalu menyalahkan Ibu. Padahal, pada dasarnya tidak ada satu pun;
ibu mana pun, yang ingin menyakiti hati anaknya. Yang diinginkannya haya satu;
kebahagiaan dan kesuksesan selalu mengiringi langkah kakiku.
Aku hanya ingin
menjadi manusia bebas. Tanpa ada satu keterkungkungan yang membuatku sesak. Mungkin terdengar terlalu pongah. Tapi memang begitulah
adanya. Bagaimana bisa
aku terbang tinggi, jika sayapku saja selalu dirantai di tepian ranjang.
Jadi aku
mohon, biarkan aku bertualang, sampai aku merasa lelah, sampai aku merindukan
rumah. Tempat dimana aku akan pulang.
Comments
Post a Comment