MAUT itu rahasia. Tapi, tidak selalu begitu. Beberapa orang tahu
bagaimana dan kapan kematiannya akan tiba. Seorang ninja, misalnya, sangat
paham bahwa ia hanya bisa mati di tangan ninja lain jika tak ingin meninggal
dunia karena sebab-sebab alami. Jika sudah bosan bernyawa, ia tinggal cari
gara-gara dengan sesamanya yang lebih lihai.
Kalimat di atas
adalah sebuah pembuka yang cukup ciamik. Kau tahu Yusi Avianto Pareanom?
Seorang cerpenis yang berhasil mengopyok berbagai khazanah kebudayaan dunia. Dalam
bukunya Rumah Kopi Singa Tertawa, Cara-cara Mati yang Kurang Aduhai adalah salah
satu cerpen karangannya yang paling aduhai untuk dibaca. Yusi berhasil membuat,
Sarah – perempuan yang tengah menyesap segelas teh di teras rumahnya –
berkali-kali mengernyitkan dahi kala ia
membuka halaman demi halaman cerpen yang Yusi Avianto tulis. Bukan. Bukan karena
tulisannya buruk, tapi ending cerita yang disajikan tak pernah berhasil
ditebak oleh perempuan berdarah Sunda itu.
Apa yang kau
lakukan bila kau tahu kapan dan bagaimana kematianmu datang, dosa menggetok
kepala anak buta memanggilmu, novelmu segera terbit tetapi bentuk tubuhmu
memalukan, tetanggamu mengantarkan makanan yang tak pernah enak, orang yang kau
benci dimutilasi, dan kau sendiri terkena penyakit yang mengundang tawa? Mungkin
kau akan kena ombrophobia – takut rintik hujan, takut bersama anjing buruk rupa ke desa yang
melarang warna disebut sehingga kau harus bilang yang mata anak haram janda
ujung desa setelah kedatangan perampok dari Utara untuk warna biru
kehijauan, atau bahkan membeli kulit sida-sida. Mungkin kau akan tertawa,
menangis dan tergoda bersama Yusi Avianto Pareanom mengopyok berbagai khazanah
kebudayaan dan menjadikannya kegilaan baru. Mengingat cerita ini tidak
dimaksudkan berkisah tentang Yusi Avianto, bagian ini cukup sampai di sini
saja.
***
Berbicara tentang cerpen, minggu lalu, tepatnya 10 September 2017,
Sarah kembali mengahadiri pertemuan ketiga Forum Lingkar Pena Jakarta di
bilangan Taman Menteng. Kali ini, materi yang dibahas adalah tentang
seluk-beluk bagaimana membuat cerpen yang baik dan menarik. Dengan menghadirkan
narasumber sekelas Taufan. E. Prast, tentunya mampu memberikan bumbu-bumbu
penyedap untuk meracik sebuah cerpen yang berkelas, seperti halnya kumpulan
cerpen Ratih, Ibu yang Terbelah karya Kang Taufan.
Kau tahu apa modal
awal menulis? Ya, modal menulis yang
paling utama adalah kemauan (minat) dan semangat untuk memulai menulis. Biasanya
penulis pemula seperti Sarah, kobaran semangat menulis hanya ada di awal saja. Ketika
berada di pertengahan, kobaran api itu perlahan-lahan padam. Tapi tidak jika
kita terus menyalakan semangat menulis dengan komitmen yang tinggi dan kekonsistenan
yang juga sama tingginya.
“Menulis itu ada
rumusnya. Yang terpenting sebelum menulis adalah pre-writing.” Papar Kang
Taufan.
Sarah segera
menuliskan apa yang sedang dijelaskan oleh Kang Taufan. Berhubung Sarah merupakan
manusia yang memiliki kapasitas mengingat yang cukup rendah, ia menuliskan
apapun yang sekiranya penting untuk dicatat. Jurnal harian bersampul hewan
Panda milik Sarah, adalah teman sejatinya dari waktu ke waktu yang hilang.
“Menulis juga
banyak modalnya. Nggak cuma dari segi financial saja¸ tapi juga banyak
aspek yang harus dipersiapkan. Salah satunya ialah membaca.” Kang Taufan dengan
tubuh gempalnya menjelaskan kembali materi tentang penulisan cerpen.
Proses pre-writing
atau kerangka karangan mencakupi beberapa hal, diantaranya: riset, mencari ide, mencari referensi, survei
sana-sini, dan juga mengumpulkan data. Untuk menangkap ide, kembangkanlah ide
secara liar (out of the box). Ide
cerita biasanya datang pada saat-saat yang tak terduga, seperti
ketika berjalan-jalan, berkunjung ke sebuah toko topi, atau ketika sedang,
maaf, buang air besar di kamar mandi. Jika
ide sudah ditangkap, tulislah segera agar si ide tersebut tidak pergi ke
mana-mana.
Sebelum
diteruskan, saat menulis tulisan ini Sarah masih bertengger di teras rumahnya. Alunan
lagu Ya Nabi Salam Alayka turut menemani pagi harinya yang cerah.
Membuat cerpen
yang menarik tentunya harus ditempuh dengan beberapa langkah. Kang Taufan
sendiri mengatakan bahwa cerpen yang baik kompisisinya pun harus sama baiknya. Ibarat
memasak, menulis juga dibutuhkan banyak bahan, dari proses observasi sampai ke
tahap penyajian, dibutuhkan bahan-bahan yang pas agar citra rasa tulisan
menjadi semakin sedap.
Di awal sudah
dijelaskan bahwa salah satu modal utama menulis adalah komitmen. Ya, komitmen
harus dibangun dengan alasan yang kuat. Supaya tidak roboh ketika diterjang
badai apapun, salah satunya; malas.
Sarah masih ingat
betul bagaimana cara membangun komitmen seperti yang dikatakan oleh Kang
Taufan. Pertama, setiap hari harus membiasakan diri untuk membaca, dimana
pun dan kapanpun buku selalu menjadi teman terbaik baginya. Teruntuk orang-orang
yang belum terbiasa membaca, barangkali cara yang pertama ini sulit untuk
diterapkan. Tapi jika tidak dipecut untuk suka membaca bagaimana bisa menjadi
penulis? Bukannya membaca dan menulis saling berkorelasi satu sama lain. Iya, kan?
Kedua, setiap hari membiasakan diri menyisihkan waktu dua jam untuk
menulis. Atau menargetkan 5 halaman yang harus ditulis setiap harinya. Siasatnya,
bisa dengan menulis satu jam sehabis salat subuh, dan satu jam sebelum tidur. Atau
bahkan bisa langsung menulis selama dua jam tersebut. Dengan kebiasaan kecil
seperti itu, sedikit demi sedikit akan membantu menguatkan komitmen yang sudah
dibangun. Dan semakin terlatih untuk tetap kosisten menulis.
Sebenarnya ada
banyak cara untuk membangun sebuah komitmen. Tergantung dari individunya
masing-masing. Tergantung dari cara mana yang lebih disukai. Sarah sendiri,
lebih suka menulis di waktu tengah malam, ketika anggota keluarganya sudah
tertidur semua. Karena Sarah tipikal orang yang tidak suka keramaian, maka ia
memilih tempat dan waktu yang sepi.
Sarah pergi ke
dapur, membuat segelas teh manis lagi. Saat
mengaduk-aduk, ia bertanya-tanya. Sudah cukup kosistenkah ia menulis? Apakah komitmen
yang ia bangun sudah kuat? Apakah ia sebaiknya mulai menggarap buku yang telah
ia mimpikan sejak lama? Mungkin ia akan melakukannya. Mungkin juga tidak. Besar
kemungkinan tidak. Ia merasa tak mampu.
Ia menghadap
komputernya lagi.
Kembali pada pembahasan awal mengenai penulisan cerpen. Apa itu cerpen? Cerpen sendiri mempunyai minimal 1000 sampai 1500 kata. Umumnya, 5-6 halaman. Cerpen hanya ada 3 unsur babak: pengenalan, konflik, dan penyelesaian.
Dalam membuat
cerpen harus diperhatikan tahapan demi tahapan. Pertama, menangkap ide. Ide
bisa didapatkan dari mana saja. Cerpen yang baik adalah cerita yang paling
dekat dengan diri kita sesuai dengan pengalaman pribadi. Kejadian sehari-haripun
bisa dikemas menjadi cerita yang unik, selama kita bisa mengolahnya dengan
baik. Kedua, premis. Setelah ide didapat segera buat sinopsis secara
struktur. Jangan mencari judul terlebih dahulu. Biasanya judul didapat ketika
sedang menulis.
Setelah itu mulai
menyusun kerangka karangan meliputi tema, genre, penokohan alur, tempat dan
amanat. Maksimalkan panca indera. Penulis harus bisa melihat sesuatu yang tidak
bisa dilihat oleh orang lain. Selain itu, penulis juga harus peka dengan
apapun yang sedang terjadi di masyarakat. Yang tidak kalah penting, jangan
memandang sebelah mata orang lain.
Beberapa point
di atas Sarah dapatkan kala ia tengah mencari jurnal hariannya yang sempat
hilang beberapa waktu lalu. Ditemukannya sebuah buku catatan kecil berwarna
hitam, dimana di dalam buku catatan tersebut terdapat banyak sekali point-point
penting tentang pelatihan sastra yang pernah ia ikuti sebelumnya.
Dalam buku Meretas
Badai Lebih Sehat Jika Menulis, Ratna Dewi Pudiastuti berpetuah bahwa imajinasi
harus terus diasah. Dicari untuk menjadi sebuah cerita. Keterbatasan fisik
bukan halangan, kesakitan dan kesedihan hilang dengan hadirnya sebuah karya
kepenulisan.
Sebelum Sarah
menutup layar komputernya, ia ingin sedikit berpesan: Menulis itu mudah. Bukan dengan
teori atau hanya sekadar duduk-duduk di seminar, tapi dengan diprektekan. Menulis,
menulis dan terus menulis. Nothing without training, right?
“Menulislah, agar hidupmu tak seperti hewan ternak, sekadar makan
dan tidur sebelum disembelih.”
(Yusi Avianto Pareanom)
(Yusi Avianto Pareanom)
Comments
Post a Comment