Perihal mimpi-mimpiku
menjadi seorang penulis itu bermula dari kecintaanku membaca sejak beberapa
tahun terakhir. Aku mulai menyukai novel-novel beraneka genre, dimulai dari
teen fiction hingga novel romance yang selalu ku gandrungi. Suatu hari, jauh di
pikiranku terlintas keinginan untuk menjadi "pembuat karya" dan tak
hanya menjadi sekadar "penikmat" semata.
Sekalipun dengan kesadaran
penuh aku menyadari bahwa diriku tak bisa menulis. Bahkan tugas mengarang yang
diberikan guru Bahasa Indonesia semasa ku SMA pun cukup membuatku babak belur
dan menyerah.
Kesukaanku terhadap menulis terbilang
masih seumur
jagung. Jika diibaratkan sebuah sekolah, aku baru saja memasuki sekolah dasar
kepenulisan – yang tidak mengenal banyak bagaimana teknik menulis
dengan baik dan benar. Tetapi itu tidak mengurungkan niatku untuk terus belajar
meramu kata demi kata meskipun hanya satu paragraf yang berhasil ku buat.
Aku tahu. Bahkan orang idiotpun tahu aku tidak mahir menulis dan samasekali
tidak memiliki jejak manis di dunia
kepenulisan. Reputasiku selalu buruk jika berkaitan dengan tugas mengarang atau
sejenisnya yang berhubungan dengan menulis. Aku tidak memiliki seni dalam
memainkan kata-kata. Mungkin semesta enggan memberikan seni itu padaku; sekalipun hanya secuil.
Ini mengingatkanku pada peristiwa beberapa tahun
yang lalu. Dulu – ketika aku masih kelas 10 – membaca adalah hal yang paling
aku segani. Aku tidak pernah tahan
berlama-lama bermesraan dengan buku-buku. Mataku terasa perih jika melihat
setumpuk buku yang tebalnya bukan main. Jangankan membaca, melihat judulnya
saja rasa kantuk dengan cepat menyergap mataku. Apalagi
memiliki hobi menulis merupakan perkara yang tak
pernah aku pikirkan sebelumnya. Terlintas pun tidak.
Lain dulu, lain sekarang. Hari ini aku tengah
membiasakan diri untuk bisa mencintai buku, bahkan belajar menjadikannya
seperti teman hidup. Di akhir tahun 2016, aku memberanikan diri untuk membuat
blog pribadi. Sekuat tenaga dan pikiran aku berusaha menggoreskan pena untuk menulis cerita perdanaku. Alhamdulilah, sekurangnya sudah enam bab yang berhasil kurampungkan - meskipun seperti sampah; kata seseorang kepadaku.
Aku benar-benar buta akan pengetahuan menulis. Aku
tidak tahu bagaimana harus memformulasikan tema. Sama tidak tahunya dengan
bagaimana harus mengekspresikan gaya ketika sedang bercerita. Semuanya aku
tulis secara suka-suka; tanpa guru yang mengajariku dan tanpa teman yang
bersedia berdiskusi atau mengoreksi hasil tulisanku.
Setiap kali aku menulis, perasaan takut selalu saja datang menyelinap secara diam-diam ke ubun-ubun kepalaku. Membuatku berpikir, seolah tulisanku jauh dari kata “bagus”. Apalagi setelah membandingkan karyaku dengan karya orang lain, terlihat sekali perbedaannya. Punyaku jelas yang paling buruk dan tak sedap untuk disantap. Semesta benar, aku makhluk Bumi yang begitu penakut juga pengecut. Selalu menyerah ketika hanya menemukan jalan buntu di tengah-tengah menulis, serta tak pernah berhasil menyusun tulisan yang utuh dan padu. Tersebab aku tidak pernah berani meminta pendapat kepada seseorang yang lebih tahu.
Setiap kali aku menulis, perasaan takut selalu saja datang menyelinap secara diam-diam ke ubun-ubun kepalaku. Membuatku berpikir, seolah tulisanku jauh dari kata “bagus”. Apalagi setelah membandingkan karyaku dengan karya orang lain, terlihat sekali perbedaannya. Punyaku jelas yang paling buruk dan tak sedap untuk disantap. Semesta benar, aku makhluk Bumi yang begitu penakut juga pengecut. Selalu menyerah ketika hanya menemukan jalan buntu di tengah-tengah menulis, serta tak pernah berhasil menyusun tulisan yang utuh dan padu. Tersebab aku tidak pernah berani meminta pendapat kepada seseorang yang lebih tahu.
Hingga akhirnya blog pribadiku ini seperti manusia
yang “mati segan, hidup pun tak mau”, tak menunjukan kemajuan yang
signifikan. Bahkan mengalami kemunduran. Aku tak lagi meng-update
tulisan-tulisanku. Bisa jadi laba-laba telah bersarang dan beranak pinak di blog- ku ini
karena terlalu lama tidak diurus dan diperhatikan. Kau yang sedang membaca tulisan ini boleh tertawa sesuka
hati. Sebagaimana diriku sedang menertawakan diriku sendiri tanpa henti.
Takut dan pengecut menjadi dua kata pengantar yang
berhasil membuat diriku menjadi tidak konsisten dalam menulis. Tentunya menjadi
seorang penulis yang bercita-cita membuat buku haruslah memiliki konsisten yang
kuat. Memiliki niat dan usaha yang sama kuat, juga memiliki perhitungan yang
tepat dan akurat mengenai berapa lama buku itu akan selesai digarap. Namnun, lain
halnya denganku, aku hanya memiliki niat yang kuat dengan usaha yang tak pernah
terlihat. Alhasil, semua tulisan-tulisanku nampak sia-sia. Sepertinya.
Rasa ketidakpercayaan yang
terus merongrong diriku seakan menjelma menjadi iblis pengganggu. Iblis yang
terus berupaya memorak-porandakan kekokohanku untuk terus menulis. Iblis yang rajin
membisikan kata-kata jahat di telingaku: "kau tak layak menjadi
penulis! Tulisanmu tak lebih dari seonggok sampah di jalanan. Tak bermakna
dan menyedihkan." Begitulah katanya dengan senyuman menyeringai.
Aku merasa seperti
musafir yang tersesat. Tersesat di labirin-labirin ide cerita yang
pernah kubuat. Tak tahu arah mana yang harus kutempuh. Atau jalan mana yang
seharusnya aku lalui. Benar-benar hanya jalan buntu yang selalu kutemukan
di persimpangan jalan. Haruskah aku menyerah dan kembali menyusuri jalan setapak
yang membawaku pulang tanpa menghasilkan karya apa-apa? Ingin rasanya kubilang, ya. Namun, itu hanya akan membuatku semakin terjerembab ke jurang
penyesalan.
Tekadku sudah bulat kendati tak ada penyemangat. Aku
mencoba melangkahkan kembali kakiku yang telah lama berhenti melangkah. Menyusuri jalan
yang penuh bebatuan. Sesekali ada banyak jurang yang harus kuhindari agar tidak
terperosok ke bawah. Sampai pada waktunya, kakiku berhenti dan berpijak di
salah satu komunitas literasi; Forum Lingkar Pena Jakarta, namanya.
Semoga di sana (di FLP Jakarta) aku bisa menemukan
jati diriku yang sebenarnya. Juga menemukan jawaban dari berbagai pertanyaan,
seperti: apakah menulis hanya sekadar hobiku semata, atau sebuah bakat yang diberikan
Semesta dengan penuh suka cita. Entahlah, aku sendiri belum menemukan
jawabanya.
Aku membiarkan "proses" dalam
"waktu" yang akan menyempurnakan tulisan-tulisanku. Berharap tabah selalu merengkuh ku di dalamnya, sekalipun
orang-orang
mencibir sebagaimana iblis yang selalu mencibir dan meremehkanku. Semua akan indah
pada waktunya. Begitupun aku percaya, kelak waktulah yang akan menjawab dari
serangkaian prosesku menemukan jati diri di Forum Lingkar Pena Jakarta.
Dengan senyuman yang merekah, aku meminta kepada Semesta agar
berbaik hati dan mengamini doa-doa baik yang
selalu dipanjatkan untuk mewujudkan
mimpi kecilku menghasilkan karya yang bernamakan buku. Amin! Ucapku berulang kali dengan nada penuh pengharapan.
***
Teruntuk kau yang sedang membaca tulisan ini aku memiliki
sedikit pesan kecil. Menulis itu mudah, menyenangkan, dan tentu bisa
dipelajari. Bukan dengan teori-teori atau duduk di sebuah seminar, tapi dengan
“DIPRAKTEKAN”. Aku mohon jangan seperti diriku yang murtad dari ketidakpercayaan
dan ketidakkonsistensian. Percaya dan konsisten adalah dua hal yang harus
dipegang erat bagi kau yang ingin berkecimpung di dunia literasi. Bukan
maksudku ingin menggurui, tapi hanya ingin membuat kau lebih baik daripada diri
ini.
Jangan terlalu memikirkan banyak hal. Jangan takut
kau tidak bisa meracik kata-kata yang sastrawi. Aku tidak ingin kesalahanku terulang kembali. Terlalu takut dan akhirnya
menjadi seorang pengecut. Kang Yanuardi Syukur (penulis yang menjadi pembicara
ketika aku tengah mengikuti serangkaian acara Stadium Generale Pramuda 21 FLP
Jakarta Minggu, 24 Juli lalu) pernah berpesan: menjadi penulis tak harus pandai
meramu kata-kata yang sastrawi, ia sendiri mengaku bahwa dirinya bukan penulis
sastrawan tapi bisa menghasilkan banyak buku.
Jangan pernah patah semangat terhadap karya-karya
kau. Ingat kembali, bahwa alasan kau menulis adalah demi passion. Bayangkan
berapa kali J.K Rowling mengalami penolakan terhadap naskah Harry Potter yang
ia buat? Bayangkan berapa kali Stepen King harus bolak-balik ke penerbit untuk
melakukan revisi sana-sini. Atau untuk mengambil kembali naskah yang
dikembalikan?
Sekali lagi. Jangan patah semangat! Dari usaha yang
tak pernah mengenal lelah, akan hadir sebuah pembelajaran yang tidak didapatkan
oleh mereka yang mulus-mulus saja. Hidup terasa getir bukan jika tak ada
rintangan? Jadi, teruslah berjalan
meskipun terasa menyakitkan. Jangan pedulikan cibiran orang-orang yang seperti
iblis pengganggu. Cukup jadikanlah motivasi untuk memicu semangatmu.
Sekali lagi dan yang terakhir kali. Jangan lupa
doakan aku agar tidak lagi tersesat dan murtad dari rasa ketidakpercayaan yang
terus merongrong diriku.
Semoga bersama FLP semesta pun menjadi saksi akan kegigihanmu berusaha. Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yg berubah. Pada akhirnya semua akan kembali pada diri kita, bagaimana menjadikan mimpi menjadi sebuah kenyataa. Man jadda wa jada!
ReplyDeleteTeruslah hidup di atas mimpi, dan gigih lah dalam menggapainya. Jangan ada kata lelah dan kalah!!
ReplyDeleteSemangattt
terimaksih Mba Jam dan Mba Winda, semoga kalian berkenan menjadi guru di saat aku hilang arah karna buntu saat menulis
ReplyDeleteSemangat! Insyallah kita semua belajar bareng di sini. Kami yg lbh dulu gabung pun masih terus belajar dan berlatih.
ReplyDeleteAssalamu'alaikum Mb Lily.. penantianmu sudah aku penuhi yaa.. terimakasih atas pesan pesannya, jazakillah. tulisannya sangat menginspirasi <3. semangat berkembang bersama :D
ReplyDelete